Selasa, 19 Februari 2013

Kandungan Laa ilaaha illallaah


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya seluruhnya. Wa ba’du :
Apa yang dikandung oleh Laa ilaaha illallaah sebagaimana apa yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah yaitu menafikan atau meniadakan empat hal, maksudnya orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dikatakan memegang Laa ilaaha illallaah: dikatakan muslim, mukmin apabila dia meninggalkan atau menjauhi, atau berlepas diri dari empat hal, yaitu :
  1. Alihah (Sembahan-sembahan)
  2. Arbaab  (tuhan-tuhan pengatur)
  3. Andaad (tandingan-tandingan)
  4. Thaghut
Jadi Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk berlepas diri, menjauhi, meninggalkan empat hal tadi dan insya Allah kita akan membahas satu demi satu dari keempat hal tersebut…
1.        Alihah
Alihah adalah jamak daripada ilaah, yang artinya tuhan. Jadi Laa ilaaha illallaah ketika kita mengucapkannya: tidak ada ilaah, tidak ada tuhan yang diibadati kecuali Allah, berarti menuntut dari kita untuk meninggalkan ilah-ilah selain Allah (tuhan-tuhan selain Allah) dan yang penting bagi kita di sini adalah memahami apa makna ilaah. Karena kalau kita melihat realita orang yang melakukan kemusyrikan pada jaman sekarang, mereka tidak menamakan apa yang mereka ibadati selain Allah itu sebagai ilah (sebagai tuhan) akan tetapi dengan nama-nama yang lain. Dan kalau kita memahami makna ilah, maka kita akan mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh si fulan atau masyarakat fulani itu adalah mempertuhankan selain Allah.
Ilaah, definisinya adalah: Apa yang engkau tuju dengan sesuatu hal dalam rangka mencari manfaat atau menolak bala (bencana).
Kalimat “dengan sesuatu hal” adalah suatu tindakan atau suatu perbuatan. Dengan contoh:
Contoh 1:
Batu besar (ini adalah sesuatu), lalu orang datang menuju ke batu besar tersebut dengan sesajian, bisa berbentuk cerutu, kopi pahit, atau rujak-rujakan, atau apa saja, ataupun bekakak ayam. Batu ini adalah sesuatu yang dituju oleh orang tersebut dengan suatu hal tadi (sesajian, cerutu, dll) pasti ada maksudnya, karena tidak mungkin seseorang menyimpan sesajian-sesajian pada batu besar tersebut dengan tujuan agar dimakan semut. Tidak… bukan itu maksudnya, akan tetapi maksudnya adalah sebagai bentuk mencari manfaat atau tolak bala.Adayang minta dijauhkan dari bala (bencana), karena menurut keyakinannya bahwa pada batu besar itu ada yang  menunggunya.
Ketika orang tadi melakukan tindakan pada batu besar itu dengan persembahan-persembahan tadi dalam rangka tolak bala atau minta manfaat, berarti batu besar ini adalah ilaah yang dipertuhankan selain Allah, sehingga pengucapan Laa ilaaha illallaah  itu adalah tidak benar… bohong !, dengan kata lain orang tersebut belum muslim meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji, dan lainnya.
Contoh 2:
Pohon besar, dituju oleh seseorang atau masyarakat dengan sesuatu hal tadi (sesajian-sesajian). Pasti ada maksudnya, kalau bukan tolak bala berarti meminta manfaat.
Berarti disini pohon besar itu adalah dipertuhankan selain Allah dengan kata lain bahwa orang yang melakukannya itu telah melanggar Laa ilaaha illallaah atau dia belum muslim, karena seharusnya dia meninggalkan hal itu.
Contoh 3:
Dewi Nyi Roro Kidul… biasanya orang pantai selatan, mereka datang ke pantai tersebut menuju Nyi Roro Kidul dengan suatu hal seperti “Pesta Laut”, dengan cara melemparkan makanan-makanan ke laut untuk persembahan ke Dewi Nyi Roro Kidul, kata mereka ada maksudnya… apa? yaitu tolak bala atau cari manfaat.
Disini berarti Nyi Roro Kidul itu adalah ilaah, yang telah dipertuhankan selain Allah. Mereka yang melakukan pesta laut itu adalah orang-orang musyrik ! bukan orang-orang muslim.
Contoh 4:
Di sebagian masyarakat ada yang berkeyakinan bahwa Dewi Sri itu adalah Dewi Padi. Petani datang ke sawah dengan membawa kelapa muda atau rujak-rujakkan atau terkadang tumpeng, lalu disimpan di pematang sawah. Buat siapa…? Kata mereka buat Dewi Sri.
Dewi Sri adalah sesuatu yang dituju oleh orang atau oleh petani tersebut dengan suatu hal tadi (sesajian-sesajian) apa maksudnya…? Kalau bukan tolak bala berarti meminta manfaat agar panennya berhasil atau supaya tidak adahama, dst. Berarti Dewi Sri ini telah dipertuhankan selain Allah, dan berarti orang-orang tersebut telah melanggar Laa ilaaha illallaah, dengan kata lain belum muslim.
Contoh 5:
Orang mau membuat rumah, di mana kata masyarakat bahwa di daerah yang akan dibangun rumah itu terdapat jin penunggunya. Ketika membuat rumah, maka orang tersebut menuju sesuatu itu (jin) dengan sesuatu hal berupa tumbal (seperti : memotong ayam lalu dikubur sebelum dibuat pondasi rumah) dalam rangka supaya tidak digangu oleh jin tersebut.
Berarti jin ini adalah sesuatu yang dituju oleh pemilik rumah dengan sesuatu (tumbal) dalam rangka tolak bala. Dan berarti jin ini telah dipertuhankan selain Allah, dan orang yang melakukan perbuatan tersebut adalah orang musyrik…! Bukan muslim, meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji dan yang lainnya.
Contoh 6:
Kuburan, baik itu kuburan Nabi atau kuburan wali atau kuburan siapa saja. Orang menamakan kuburan tersebut adalah kuburan keramat sehingga orang datang ke kuburan tersebut.
Kuburan adalah sesuatu, kemudian dituju oleh orang tersebut dengan sesuatu., ada yang minta ke penghuni kubur tersebut jodoh, bahkan ada yang minta do’anya (sedang meminta do’a kepada yang sudah meninggal adalah tidak dibolehkan), berarti kuburan ini adalah sesatu yang dituju oleh orang tadi dalam rangka meminta manfaat, minta jodoh, minta rizqi, atau minta do’a, ada juga yang minta agar dijauhkan dari bala. Berarti kuburan tersebut telah dipertuhankan selain Allah, dan orang-orangnya adalah orang-orang  musyrik…
Mereka beralasan bahwa bahwa kami ini adalah orang kotor, sedangkan wali ini adalah orang suci, bersih, dan dekat dengan Allah, sedangkan Allah itu Maha Suci, jika kami orang kotor lalu minta langsung kepada Allah maka kami malu, sebagaimana kalau minta suatu kebutuhan pada penguasa kita tidak langsug datang ke penguasa tersebut, akan tetapi melalui orang dekatnya… jadi dia menyamakan Allah dengan makhluk. Perbuatan tersebut adalah penyekutuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, berarti orangnya adalah orang musyrik dan orang tersebut telah mempertuhankan selain Allah, walaupun dia tidak mengatakan bahwa dirinya telah mempertuhankan selain Allah.
Walaupun batu besar, pohon besar, atau kuburan keramat itu tidak disebut tuhan, akan tetapi hakikat perbuatan mereka itu adalah mempertuhankan selain Allah. Maka orang-orang yang melakukan hal itu adalah bukan orang-orang muslim. Dan kalau kita hubungkan dengan realita, ternyata yang melakukan hal itu umumnya adalah orang yang mengaku muslim. Mereka itu sebenarnya bukan muslim tapi masih musyrik.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan tentang orang-orang kafir Arab, karena di antara kebiasan mereka adalah menjadikan Latta sebagai perantara, mereka memohon kepada Latta ~yang dahulunya orang shalih~ untuk menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Ketika mereka diajak untuk mengatakan dan komitmen dengan Laa ilaaha illallaah maka mereka menolaknya, Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (٣٥) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami Karena seorang penyair gila?” (QS. As Shaffat [37] : 35-36)
Dalam ayat ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam digelari “penyair gila”, padahal sebelumnya mereka menyebutnya “Al Amin” (yaitu orang jujur lagi terpercaya), mereka memahami bahwa apabila komitmen dengan Laa ilaaha illallaah konsekuensinya adalah meninggalkan ilah-ilah tadi (batu-batu keramat, pohon-pohon keramat, kuburan keramat, dst), sedangkan mereka itu tidak mau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Juga ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menawarkan kepada mereka, beliau mengatakan: “Maukah kalian berikan kepada saya satu kalimat yang dengannya kalian akan mampu mendudukan orang-orang Arab dan ‘Ajam ?”, Abu Jahhal mengatakan: “Senang sekali, saya akan memberikannya… bahkan 10x lipat dari kalimat yang kamu minta itu”, kemudian Rasulullah mengatakan: “Katakan; Laa ilaaha illallaah”. Lalu mereka bangkit dan pergi sambil mengatakan: “Apakah kami harus menjadikan ilaah-ilaah itu hanya menjadi satu saja?, ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan !” (sebagiannya diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Al Hakim).
Mereka paham akan Laa ilaaha illallaah, karena tidak sulit dan mereka tidak perlu diajarkan artinya, tidak seperti di kita. Sedangkan di antara makna adalah itu bahwa mereka harus meninggalkan alihah selain Allah, sehingga karenanya mereka menolak. Jadi, mereka enggan meninggalkannya, berbeda dengan orang sekarang ; mengucapkan mau… bahkan ratusan kali, ribuan kali akan tetapi perbuatannya bertentangan dengan kandungan daripada Laa ilaaha illallaah.Ini adalah yang pertama, alihah : sesuatu yang engkau tuju dengan suatu hal dalam rangka tolak bala atau meminta manfaat. Mudah-mudahan yang pertama ini jelas…
2.        Arbaab  (tuhan-tuhan)
Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk meninggalkan arbaab, berlepas diri daripada Arbaab.
Apa Arbab…?? Ia adalah bentuk jamak daripada Rabb, yang artinya tuhan pengatur atau yang mengatur, berarti kalau kata-kata “atur” maka berhubungan dengan aturan, seperti hukum/undang-undang. Jadi Rabb adalah tuhan yang mengatur, yang menentukan hukum.
Kita sebagai makhluk Allah, dan konsekuensi sebagai makhluk yang diciptakan Allah yang mana Dia juga telah memberikan sarana kepada kita, maka yang berhak menentukan adalah… hanya Allah. Jadi Allah disebut Rabbul ‘Alamin karena Allah yang mengatur alam raya ini, baik secara kauniy (hukum alam) maupun secara syar’iy (syari’at). Sedangkan jika ada orang yang mengaku atau mengklaim bahwa dia berhak mengatur, berarti dia memposisikan dirinya sebagai rabb.
Apa rabb itu…? Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mendefinisikan rabb itu adalah: “Yang memberikan fatwa kepada engkau dengan fatwa yang menyelisihi kebenaran, dan kamu mengikutinya seraya membenarkan”.
Ketika orang mengikuti apa yang bertentangan dengan hukum Allah maka dia disebut mempertuhankan, sedangkan yang diikutinya yang mana ia mengetahui bahwa hal itu pembuatan aturan, maka dia memposisikan dirinya sebagai Rabb. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9]: 31)
Pada ayat ini Allah memvonis orang Nashara dengan lima vonis :
  1. Orang-orang nashara tersebut telah mempertuhankan para alim ulama dan pendeta mereka .
  2. Mereka telah beribadaha kepada selain Allah
  3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
  4. Mereka musyrik
  5. Alim ulama dan pendeta mereka telah memposisikan dirinya sebagai Arbab… sebagai Tuhan.
Ketika ayat ini dibacakan di hadapan shahabat ‘Adiy Ibnu Hatim, (asalnya beliau ini Nashrani) sedang beliau datang kepada Rasul dalam keadaan masih Nashrani. Dan ketika mendengar ayat ini dengan vonis-vonis di atas, maka ‘Adiy Ibnu Hatim mengatakan: Kami (maksudnya : dia dan orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat, sujud kepada alim ulama kami, atau kepada pendeta kami, lalu kenapa Allah memvonis kami musyrik, kami melanggar Laa ilaaha illallaah dst. Jadi dalam benak ‘Adiy Ibnu Hatim bahwa yang namanya kemusyikan itu adalah shalat, sujud atau memohon kepada selain Allah. Sehingga mereka tidak mengetahui bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah kemusyrikan, mereka heran… sebenarnya kemusyrikan apa yang dilakukan dan bagaimana bentuknya sehingga kami disebut telah mentuhankan alim ulama ?, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Bukankah alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya ?, bukankan mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya ?”, lalu ‘Adiy berkata: “Ya !”, maka Rasul berkata: “Itulah bentuk peribadatan (orangt nashrani) terhadap mereka
Jadi, ketika alim ulama memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum mengklaim memiliki kewenangan untuk membuat hukum (sekarang: undang-undang) maka dia mengkalim bahwa dirinya sebagai tuhan… sebagai Rabb. Sedangkan orang yang mengikuti atau menjalankan hukum-hukum yang mereka buat itu, maka Allah memvonisnya sebagai orang yang telah mempertuhankan, yang beribadah kepada si pembuat hukum itu dan melanggar Laa ilaaha illallaah lagi musyrik…!
Di dalam contoh ayat yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6] : 121)
Ayat ini berkenaan tentang masalah bangkai, dan kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram. Dan dalam ajaran orang-orang kafir Quraisy bahwa bangkai adalah sembelihan Allah, dan dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Al Hakim dengan sanad yang shahih: “Orang-orang Quraisy datang kepada Rasul: “Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya ?”, beliau menjawab: “Allah yang mematikannya”, lalu mereka berkata: “Kambing yang kalian sembelih kalian katakan halal, sedangkan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang mulia dengan pisau dari emas (maksudnya bangkai) kalian katakan haram ! berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah”.
Ucapan ini adalah bisikan atau wahyu syaitan kepada mereka dan ketahuilah: “Jika kalian mentaati mereka (ikut setuju dengan hukum dan aturan mereka yang bertentangan dengan hukum dan aturan Allah) maka kalian ini orang-orang musyrik”.
Dalam hal ini ketika orang mengikuti hukum yang bertentangan dengan aturan hukum Allah disebut musyrik, padahal hanya dalam satu hal saja, yaitu penghalalan bangkai. Sedangkan orang yang membuat hukumnya disebut syaitan, dan hukum tersebut pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau bisikan syaitan, kemudian digulirkan oleh wali-wali syaitan dari kalangan manusia, dan orang yang mengikuti hukum-hukum tersebut disebut sebagai orang musyrik…!
Agar lebih kuat lagi, mari kita lihat firman Allah yang lainnya:

إنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

“…Menentukan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Yusuf [12]: 40)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hak menentukan hukum itu hanyalah milik Allah, hak membuat hukum, aturan, undang-undang hanyalah milik Allah. Dan Allah memerintahkan agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah.
Dalam ayat ini penyandaran hukum disebut ibadah. Jika disandarkannya kepada Allah berarti ibadah kepada Allah, sedangkan jika disandarkan kepada selain Allah berarti ibadah kepada selain Allah, itulah dien yang lurus… ajaran yang lurus, akan tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.
Jadi Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hak menetapkan hukum, aturan, undang-undang hanya di Tangan Allah, ketika dipalingkan kepada selain Allah maka itu artinya memalingkan ibadah kepada selain Allah, dengan kata lain adalah syirik dan orangnya disebut musyrik.
Makanya tidak aneh, ketika hal itu dipalingkan kepada alim ulama dan pendeta disebut musyrik, ibadah kepada selain Allah dan mempertuhankan alim ulama. Jadi, dalam satu hal saja orang yang mengikutinya itu disebut musyrik.

وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

“…dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6] : 121)
Sekarang… kita hubungkan dengan realita: Kan ada sistem demokrasi… Yang namanya orang berpendidikan pasti mengetahui apa demokrasi, yaitu dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi, dalam demokrasi yang berdaulat, yang berhak menentukan hukum itu adalah rakyat. Apa yang diinginkan rakyat atau mayoritasnya itu adalah kebenaran yang wajib diikuti, dan memang dalam sistem demokrasi seperti itu !
Sistem demokrasi mulai populer ketika Revolusi Prancis, (walau ide-ide dasarnya sudah muncul jauh sebelu itu, ed) di mana hal itu dilakukan agar terlepas dari kungkungan gereja yang mengekang mereka karena kekuasaan kaisar-kaisar pada saat itu, dengan kedzaliman yang mereka lakukan, kediktatoran otoriter di atas nama tafwidl ilahiy (atas nama kewenangan Tuhan) maka terjadilah revolusi yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Tuhan yang diberikan kepada rakyat yang mana demokrasi ini dibangun di atas beberapa pilar :
  1. Kebebasan keyakinan, dengan nama lain kebebasan meyakini apa saja.
  2. Kebebasan mengeluarkan pendapat
  3. Hukum berada di tangan rakyat
  4. Melepas norma akhlak dari agama
Dalam masalah ini kita secara khusus mengambil masalah “hukum berada ditangan rakyat”, di mana yang berhak memutuskan hukum aturan/undang-undang dalam sistem itu adalah rakyat, yang mana dalam sistem demokrasi perwakilan diwakilkan melalui pemilu (intikhab).
Mari kita perhaikan bahwa dalam praktek demokrasi, yang berhak memutuskan hukum itu rakyat, setiap individiu-individu rakyat memiliki kewenangan mambuat hukum dengan kata lain, bahwa rakyat itu memiliki sifat ketuhanan yaitu pembuatan hukum, akan tetapi kalau rakyat yang berjumlahnya berjuta-juta ini kumpul semuanya adalah tidak mungkin, maka diwakilkan hak ketuhanannya itu lewat pemilu dan ketika “nyoblos” itu pada dasarnya mewakilkan hak ketuhanannya kepada wakilnya yang nantinya akan dipajang di gedung Parlemen. Dan nantinya akan membuat hukum atas nama rakyat. Hal ini bisa dilihat ketika pada saat sidang-sidang thaghut itu di mana mereka mengatasnamakan rakyat, karena mereka adalah perwakilan rakyat… aspirasi rakyat. Jadi, dalam sistem demokrasi ini bahwa yang berwenang atau menentukan hukum dan undang-undang adalah rakyat.
Jika dalam surat Al An’am 121 yang mana satu hukum saja dipalingkan kepada selain Allah dihukumi syirik dan yang membuatnya di sebut wali syaitan (Arbaab). Maka apa gerangan dengan sistem demokrasi ini, yang mana bukan hanya satu hukum, akan tetapi seluruh hukum dipalingkan dari Allah kepada makhluk (rakyat)…?? Maka dari itu dalam Undang Undang Dasar dalam Bab 1 (1) ayat 2 dikatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat”. Jika dahulu sebelum diamandemen dilaksanakan sepenuhnya oleh majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka sekarang adalah dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Jadi, kedaulatan atau hak hukum itu berada di tangan rakyat, atau dengan lain kata bahwa demokrasi itu merampas sifat ketuhanan dari Allah dan diberikan kepada rakyat yang nantinya akan terwujud dalam wakil-wakil rakyat yang ada di gedung Parlemen (MPR/DPR atau yang lainnya).
Jika sekarang kita ingin mengetahui siapa itu arbaab… para pengaku tuhan di NKRI (Negara Kafir Republik Indonesia) ini, maka tinggal membaca kitab Undang Undang Dasar 1945 dan di dalamnya akan didapatkan: Bahwa setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU), atau akan didapatkan juga pasal: Bahwa “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang Undang…” dst. Dan juga yang berkaitan dengan otonomi daerah: “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan setempat diberikan kewenangan membuat undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah”. Dan itu semua adalah Arbaab-Arbaab  yang ada di Indonesia… sekali lagi, jika ingin mengetahui siapa Arbab atau para pengaku tuhan, maka pahamilah tauhid lalu baca Undang Undang Dasar 1945, maka akan diketahui bahwa mereka adalah para pengaku tuhan.
Jadi demokrasi ini adalah sistem syirik sedangkan hukum yang muncul dari bingkai demokrasi dalam bentuk apapun itu adalah syari’at demokrasi… syari’at syirik walaupun ~umpamanya~ hukum potong tangan muncul dalam bingkai demokrasi, maka hakikatnya adalah bukan hukum Allah akan tetapi tetap hukum demokrasi, karena munculnya bukan dari Allah, tapi dari sang pembuat hukum yang di akui dalam sistem demokrasi, yaitu rakyat (wakil rakyat) sehingga bukan ayat Al Qur’an lagi yang tertera, akan tetapi :Tap MPR no sekian… atau perpu no sekian… seperti itulah yang ada.
Dan ketika membuatnya: mereka (partai-partai Islam) mengambil dari Al Qur’an tentang potong tangan, dengan kata lain proposal diambil dari Al Qur’an (dari Allah) kemudian disodorkan kepada tuhan-tuhan “besar” yang ada di gedung MPR/DPR… disodorkan kepada Arbaab-Arbaab itu, setelah itu akan terjadi tarik ulur… Jadi, hukum Allah disodorkan kepada mereka ~karena yang namanya proposal itu muncul berawal dari bawah lalu disodorkan ke atas~ dan ketika berada di atas (MPR/DPR) setujui atau tidak. Jika tidak setuju maka jelaslah kekafirannya, dan ketika setuju juga jelas kekafirannya, karena hal itu menunjukan bahwa Allah itu tidak diakui sebagai Rabb pengatur, akan tetapi merekalah yang berhak mengatur sehingga hukum Allah membutuhkan persetujuan Arbab…! Dan ketika digulirkan tidak mungkin nantinya sesuai dengan firman Allah surat sekian atau ayat sekian… akan tetapi jika yang mengeluarkannya Pemerintah, maka yang keluar adalah perpu no sekian, perda no sekian, jika MPR yang menggulirkannya maka yang yang keluar adalah TAP MPR No sekian, begitulah keadaannya…!!
Jadi semua itu adalah hukum Arbab. Arbabnya banyak… ada Arbab dari partai PKS, PBB, PPP, PKB, PAN, PDI, Golkar…dst, mereka itu adalah Arbaab. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (٣٩) مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa ? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Yusuf [12] : 39-40)
Ayat: “Tuhan-tuhan yang bermacam itu…” maksudnya adalah tuhan-tuhan pengatur atau pembuat hukum yang beraneka ragam, yang banyak dari berbagai golongan, fraksi, utusan daerah, komisi-komisi, dll.. Dan ayat: “yang kalian ibadati” maksudnya di sini adalah mengikuti hukum. “nama-nama yang kalian ciptakan” maksudnya adalah seperti apa yang diibadati oleh para anshar thaghut zaman sekarang berupa Undang Undang Dasar, mereka menciptakannya dan mereka mengibadatinya. Perpu-perpu juga mereka yang membuatnya, KUHP juga mereka yang membuatnya… semua itu adalah nama-nama yang mereka ciptakan sendiri, kitab hukum yang mereka membuatnya sendiri lalu mereka yang mengibadatinya (mengikutinya).
Jadi, membuat hukum itu adalah sebagai bentuk membuat tuhan yang akan mereka ibadati. Dan Arbab-Arbab itu adalah pengaku tuhan.
Supaya lebih dipahami, saya gambarkan… mungkin kita sering mendengar orang memperolok-olokkan Arab Quraisy ketika membuat tuhan dari roti, tuhan yang terbuat dari adonan yang kemudian diibadati, dan ketika lapar maka tuhan-tuhan itu dimakan, mereka yang memperolok-olok itu mengatakan “Oh… bodoh sekali orang-orang Arab itu, Jahiliyyah banget…!”, padahal semua itu adalah realita yang nyata zaman sekarang. Jika kita sudah paham bahwa Arbaab (mereka para pengaku tuhan) adalah tuhan jadi-jadian dan hukum yang diibadati itu juga tuhan (tuhan yang diibadati bukan dengan shalat atau do’a, tapi dengan taat, patuh, dan loyalitas), maka kita akan mendengar bahasa mereka “menggodok undang-undang”, seperti fraksi anu… menggodok undang-undang buruh (umpamanya), fraksi lain menggodok undang-undang tentang perbankan, fraksi yang lain tentang pendidikan, fraksi yang lain tentang keamanan…! Mereka menggodok seperti membuat adonan, mereka menggodok undang-undang dan hukum. Fraksi ini membuat bagian tangannya, fraksi itu membuat kepalanya, yang lain membuat kakinya atau bagian yang lainnya sehingga setelah semuanya digodok dan dicetak sampai menjadi sebuah berhala (seperti berhala dari roti). Ketika hukum dan undang-undang selesai digodok, kemudian digulirkan (mejadi sebuah berhala), maka akan dibuatkan TAP MPR No sekian… atau Perpu No sekian… lalu disosialisasikan ketengah masyarakat atau kepada aparatur thaghut ini dan kemudian rame-rame diibadati, bukan dengan disembah-sembah seperti shalat atau sujud, akan tetapi dengan ditaati, dirujuk, dijadikan acuan hukum. Kita juga melihat dan mendengar apa yang dikatakan oleh para aparat thaghut ketika menegakkan hukum buatannya itu bukan “sesuai dengan firman Allah surat anu ayat sekian atau sabda Rasulullah…”, akan tetapi mereka mengatakan : “Sesuai TAP MPR No sekian, atau pasal sekian…!”.
Nah… setelah disosialisasikan dan diibadati ramai-ramai oleh para aparat, polisi, jaksa, hakim, dan yang lainnya, kemudian ketika ada celah atau hukum tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka berhala yang sudah jadi itu dipotong-potong dan dimakan lagi oleh mereka yang membuatnya dengan bahasa mereka “direvisi atau diamandemen”, seperti layaknya tuhan yang terbuat dari roti. Setelah itu kemudian dibuatkan lagi yang baru… digodok lagi… dicetak lagi… sehingga menjadi sebuah berhala baru lagi (hukum dan undang-undang baru), kemudian disembah lagi, dan ketika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan atau ada celah maka berhala yang sudah jadi itu di potong-potong dan dimakan lagi oleh mereka, begitu dan begitu seterusnya…!!!
Jadi, berhalaisme atau paganisme itu selalu terjadi dan lebih dahsyat dan lebih berbahaya karena apabila menyembah berhala yang berbentuk patung tidak akan ada yang memaksa, akan tetapi kalau untuk mentaati hukum thaghut maka akan dipaksakan.
Pada gambaran yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan kitab suci Al Qur’an sebagai pedoman, sebagai aturan bagi orang yang beriman, hal demikian itu adalah sebagi tali yang Allah ulurkan dari sisin-Nya (dari surga) ke bumi. Barangsiapa yang memegangnya maka ia akan sampai kepada Allah, sedangkan kitab-kitab selain Al Qur’an (seperti: KUHP atau kitab hukum dan perundang-undangan lainnya) adalah pada hakikatnya kitab syaitan yang merupakan tali syaitan yang di ulurkan dari neraka, di mana barangsiapa yang memegangnya atau yang mengikutinya, maka akan ditarik oleh syaitan ke dasar neraka.
Jadi, “kitab-kitab suci” selain Al Qur’an pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau ucapan syaitan yang dihasilkan oleh para Arbaab (para pengaku tuhan itu).
Fir’aun mengatakan: “Aku adalah tuhan kalian yang tertinggi”, apakah ketika dia mengucapkannya dia mengklaim pencipta langit dan bumi? atau bahwa dialah yang menyediakan isi dan segala apa yang ada di atasnya?? Tidak…! dia tidak memaksudkan hal itu, karena masyarakat mengetahui bahwa sebelum Fir’aun lahir pun manusia telah ada, masyarakatnya pun mengetahui bahwa Fir’aun sendiri terlahir dari manusia. Akan tetapi ketika dia mengucapkan “Aku adalah tuhan kalian tertinggi” maksudnya adalah tuhan yang hukumnya harus kalian taati… yang mana tidak ada hukum yang harus kalian ikuti kecuali hukum buatan saya !
Jadi, ketika Fir’aun mengatakan hal itu bukan karena dia yang menciptakan manusia atau yang bisa memberikan manfaat atau madharat atau yang bisa memberi anak, tetapi “Sayalah pembuat hukum yang hukumnya harus kalian ikuti…!”.
Apabila telah paham apa yang di ucapkan fir’aun itu, berarti akan kita bisa melihat banyak Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang yang mengatakan bahwa hukumnya harus ditaati ! mereka adalah Fara’inah.Para pembuat hukum itu itulah Fir’aun…
Jadi jika kita membaca tentang Fir’aun itu, jangan selalu mengidentikan pada Fir’aun zaman Nabi Musa saja, karena sifat-sifat Fir’aun itu banyak dan Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang mereka itu lebih dahsyat lagi. Apabila Fir’aun zaman dulu membunuh anak laki-laki karena takut suatu hari ada yang menyaingi atau membunuh dia (sesuai dengan mimpinya itu), sedangkan jika anak anak kecil ~yang masih suci fithrahnya~ dibunuh maka insya Allah masuk surga, sedangkan Fir’aun zaman sekarang… mereka membunuh fithrah anak-anak kecil dengan didoktrinkan idiolodi-idiologi kafir di sekolahan-sekolahan milik Fir’aun sehingga fithrahnya mati, bukan jasadnya yang dimatikan, akan tetapi fithrahnya yang dimatikan, sedangkan apabila waktu kecil fithrah sudah rusak atau mati sehingga dewasa lalu tidak taubat (tidak kembali kepada tauhid) dan dia mati dalam keadaan seperti itu, maka dia akan dijerumuskan ke dalam api neraka… dan ini adalah bahaya !! Sedangkan apabila anak kecil yang mati jasadnya saja sedang fithrahnya tidak, maka dia masuk surga. Akan tetapi apabila mereka (Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang) itu tidak mampu membunuh fithrahnya sewaktu masa anak-anak, maka setelah dewasa baru dibunuh jasadnya atau dimasukan ke penjara-penjara Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang.
Jadi… itulah Fir’aun yang mana dia mengatakan “Akulah tuhan kalian tertinggi” adalah bukan dimaksudkan bahwa dia itu pencipta manusia atau yang menyediakan berbagai sarana kehidupan buat manusia, akan tetapi dia makasudkan “Sayalah pembuat hukum bagi kalian yang hukumya harus kalian ikuti…!”
Bila semua ini kita pahami, maka kita akan melihat bahwa pada zaman sekarang banyak sekali yang seperti Fir’aun.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah ketika menjelaskan surat Al An’am: 121 dan At Taubah : 31, mengatakan : “Sesungguhnya setiap orang yang mengikuti aturan, hukum, dan undang-undang  yang menyelisihi apa yang Allah syri’atkan lewat lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka dia musyrik terhadap Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai Rabb (Tuhan)”. [Al Hakimiyyah: 56]
Jadi, kesimpulannya bahwa Arbaab adalah orang yang mengaku bahwa dirinya berhak membuat hukum/aturan/undang-undang, dengan kata lain Arbab adalah orang-orang yang mempertuhankan diri, sedangkan orang yang mengikuti hukum buatan para Arbab itu disebut dengan orang musyrik, dan peribadatan kepada Arbab ini adalah bukan dengan shalat, sujud, do’a, nadzar atau istighatsah, akan tetapi dengan mengikuti, mentaati, dan loyalitas terhadapnya. Sehingga pada saat Fir’aun mencela Nabi Musa dan Harun, dia mengatakan:

فَقَالُوا أَنُؤْمِنُ لِبَشَرَيْنِ مِثْلِنَا وَقَوْمُهُمَا لَنَا عَابِدُونَ

“Dan mereka berkata: “Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang beribadah kepada kita?” (QS. Al Mukminun [23]: 47)
Maksud “beribadah” di atas adalah ketaatan, oleh karena itu ketaatan kepada Fir’aun disebut beribadah kepada Fir’aun. Dan begitu juga orang sekarang yang taat kepada hukum buatan para Arbaab itu adalah disebut orang yang beribadah kepada Arbaab tersebut
Dan ini adalah penjelasan tentang Arbaab yang mana ini adalah hal bagian kedua yang harus dinafikan oleh Laa ilaaha illallaah…
3.      Andad (Tandingan-tandingan)
Andad adalah jamak dari kata nidd, yang artinya tandingan, maksudnya adalah tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah memerintahkan agar kita hanya menghadapkan dan menjadikan-Nya sebagai tujuan satu-satunya. Tidak boleh seseorang mengedepankan yang lain terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah berfirman tentang nidd ini atau tentang Andad ini :

فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui”. (QS Al Baqarah [2]: 22)
Andad itu apa…?
Andad adalah sesuatu yang memalingkan kamu daripada Al Islam, atau sesuatu yang memalingkan kamu daripada tauhid, baik itu anak, isteri, jabatan, harta, atau apa saja yang mana jika hal itu memalingkan seseorang daripada tauhid atau memalingkan seseorang dari pada Al Islam atau menjerumuskan seseorang kepada kekafiran atau ke dalam kemusyrikan, maka sesuatu hal itu sudah menjadi Andad.
Jadi sesuatu yang memalingkan kamu daripada Al Islam atau tauhid baik itu anak, isteri, suami, posisi jabatan, harta benda, dst, kalau hal tersebut justeru mamalingkan seseorang daripada tauhid, berarti sesuatu itu telah dijadikan Andad… tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Contoh: Kita bisa melihat dalam realita yang nyata dimasyarakat… mereka berbondong-bondong menjadi abdi hukum buatan. Kita mengetahui bahwa dalam sistem Pemerintahan ini atau yang dipakai adalah sistem kafir, sistem syirik, sistem demokrasi. Perundang-undangnya juga adalah perundang-undangan thaghut. Undang Undang Dasar atau undang-undang lainnya yang dibuat oleh manusia adalah kafir. Orang-orangnya… baik itu pejabat Legislatif, Eksekutif, yudikatif, atau dari kalangan bala tentaranya seperti aparat POLRI, TNI,  atau para pejabatnya atau bahkan pegawai kecilnya sekalipun (PNS) tidak bisa mereka memegang posisinya kecuali mereka menyatakan ikrar atau janji setia, kepada apa…?? Kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar dan kepada sistem thaghut ini, sedangkan kesetiaan terhadap thaghut merupakan kekafiran !
Kita mengetahui bahwa yang mereka inginkan bukanlah menjadi kafir atau murtad, ~umpamanya~ orang mendaftarkan diri menjadi Polisi atau jadi Caleg (Calon Legislatif) yang mana dia tidak bisa meraihnya kecuali kalau mereka setia kepada sistem thaghut tersebut. Menyatakan ikrar atau janji setia kepada sistem kafir merupakan kekafiran. Dan yang diinginkan oleh orang tersebut bukanlah ingin kafir atau ingin murtad dan bukan sebagai kebencian kepada Islam… akan tetapi dia menginginkan posisi, jabatan, gaji bulanan, dst. Nah… keinginan-keinginan tersebut yang menyebabkan orang tersebut meninggalkan tauhid, dengan demikian keinginan tersebut atau posisi jabatan atau gaji bulanan yang diinginkan tersebut telah menjadi Andad. Orang tersebut telah meninggalkan tauhidnya karena ia menjadikan hal-hal tersebut sebagai Andad.
Kita bisa melihatnya ketika orang yang mau menjadi pegawai di dinas thaghut ini, dia harus bersumpah setia kepada sistem thaghut ini terlebih dahulu. Mungkin ketika seseorang telah mengenal Tauhid dia pasti akan benci dengan sistem ini, atau benci dengan undang-undang ini, benci dengan falsafah yang syirik ini. Akan tetapi yang diinginkan bukan itu, melainkan gaji bulanan atau fasilitas-fasilitas. Dan dikarenakan harus setia kepada kekafiran ~sedang hal demikian itu adalah kekafiran~ maka perbuatan tersebut telah menjadikan orang tersebut terjerumus ke dalam kekafiran, orang tersebut telah menjadikan keinginan-keinginannya sebagai Andad yang memalingkannya daripada tauhid…!
Jadi Andad adalah sesuatu yang memalingkan kamu daripada tauhid… daripada Islam, baik itu jabatan, harta, keluarga. ~umpamya~ seorang  ayah yang sangat sayang kepada anaknya, sedang si anak tersebut dalam keadaan sakit, lalu ada orang yang menyarankan kepada si ayah tersebut agar si anak yang lagi sakit itu dibawa ke dukun. Dikarenakan saking sayangnya kepada si anak tersebut akhirnya si ayah datang ke dukun dan mengikuti apa yang disarankan oleh si dukun tersebut. Maka dengan demikian si anak tersebut telah memalingkan si ayah tadi dari tauhid, dan berarti si anak telah menjadi Andad. Sedangkan Allah berfirman:

فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui”. (QS Al Baqarah [2]: 22)
Ini semua adalah tentang Andad, dan singkatnya adalah segala sesuatu yang memalingkan seseorang daripada Tauhid dan Al Islam disebut Andad[1].
4.      Thaghut.
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya kewajiban pertama yang Allah fardhukan atas anak Adam adalah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Alah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana yang Dia firmankan:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat itu seorang rasul (mereka mengatakan kepada kaumnya): Ibadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut…”   (QS. An Nahl [16] : 36)
Perintah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Allah adalah inti dari ajaran semua Rasul dan pokok dari Islam. Dua hal ini adalah landasan utama diterimanya amal shalih, dan keduanyalah yang menentukan status seseorang apakah dia itu muslim atau musyrik, Allah ta’ala berfirman:

 فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا

“Siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh kepada buhul tali yang sangat kokoh (laa ilaaha ilallaah)” (QS. Al Baqarah [2]: 256)
Bila seseorang beribadah shalat, zakat, shaum, haji dan sebagainya, akan tetapi dia tidak kufur terhadap thaghut maka dia itu bukan muslim dan amal ibadahnya tidak diterima.
Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah :
  1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah,
  2. Engkau meninggalkannya,
  3. Engkau membencinya,
  4. Engkau mengkafirkan pelakunya,
  5. Dan engkau memusuhi para pelakunya.
Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya tatkala mereka mengatakan kepada kaumnya : “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja…” (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)
Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut :
I.      Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah.
Ibadah adalah hak khusus Allah, maka ketika dipalingkan kepada selain Allah, itu adalah syirik lagi bathil. Do’a adalah ibadah sebagaiman firman-Nya Ta’ala:

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

 “Berdo’alah kepada-Ku, tentu akan Kukabulkan permohonan kalian, sesungguhnya orang-orang yang menolak beribadah kepadaKu, maka mereka akan masuk nereka Jahannam dalam keadaan hina” (QS. Al Mukmin [40]: 60)
Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam besabda: “Do’a itu adalah ibadah”. Memohon kepada orang-orang yang sudah mati adalah di antara bentuk pemalingan ibadah do’a kepada selain Allah, dan itu harus diyakini bathil, sedang orang yang meyakini bahwa memohon kepada orang atau wali yang sudah mati adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap wali tersebut maka dia belum kufur terhadap thaghut.
Sembelihan adalah ibadah, dan bila dipalingkan kepada selain Allah maka hal tersebut adalah syirik lagi bathil, Allah ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (١٦٢) لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Katakanlah, Sesunggunya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku adalah bagi Allah Rabbul ‘alamin, tiada satu sekutupun bagi-Nya” (QS. Al An’am [6] : 162-163)
Rasulullah shalallahu’alaihi wa salam bersabda: “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah (tumbal)”. Sedangkan dalam kenyataan, orang yang membuat tumbal, baik berupa ayam atau kambing saat hendak membangun rumah, gedung, jembatan dsb, dia menganggap sebagai tradisi yang patut dilestarikan, maka orang ini tidak kufur terhadap thaghut.
Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara bersedekah makanan adalah ibadah, sedangkan taqarrub kepada jin dan syaitan dengan sesajen adalah syirik lagi bathil. Allah berfirman tentang syiriknya orang-orang Arab dahulu:

وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالأنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا

“Dan mereka menjadikan bagi Allah satu bahagian dari apa yang telah Allah ciptakan berupa tanaman dan binatang ternak. Mereka mengatakan sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini bagi Allah dan ini bagi berhala-berhala kami…”  (QS. Al An’am [6]: 136)
Jadi orang yang menganggap perbuatan sesajen sebagai tradisi yang mesti dilestarikan, berarti dia tidak kufur terhadap thaghut…
Wewenang (menentukan/membuat) hukum/undang-undang/aturan adalah hak Allah. Penyandaran hukum kepada Allah adalah bentuk ibadah kepadaNya, sedangkan bila wewenang itu disandarkan kepada makhluk maka itu adalah syirik dan merupakan suatu bentuk ibadah kepada makhluk tersebut. Allah ta’ala berfirman:

إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

“(Hak) hukum itu tidak lain adalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Itulah dien yang lurus” (QS. Yusuf [12]: 40)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan menusia agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah, dan Allah namakan penyandaran hukum itu sebagai ibadah, sehingga apabila disandarkan kepada makhluk maka hal itu adalah perbuatan syirik, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

“Dan janganlah kalian memakan dari (sembelihan) yang tidak disebutkan nama Allah padanya, sesungguhnya hal itu adalah fisq. Dan sesungguhnya syaitan mewahyukan kepada wali-walinya untuk mendebat kalian, dan bila kalian menta’ati mereka maka sungguh kalian ini adalah orang-orang musyrik” (QS. Al An’am [6]: 121)
Kita mengetahui dalam ajaran Islam bahwa sembelihan yang tidak memakai nama Allah adalah bangkai dan itu haram, sedangkan dalam ajaran kaum musyrikin adalah halal. Syaitan membisikan kepada wali-walinya: “Hai Muhammad, ada kambing mati dipagi hari, siapakan yang membunuhnya?” maka Rasulullah menjawab: “Allah yang telah mematikannya”. Mereka berkata: “Kambing yang telah Allah sembelih (maksudnya bangkai) dengan tangan-Nya Yang Mulia kalian haramkan, sedangkan yang kalian sembelih dengan tangan-tangan kalian, kalian katakan halal, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah” [HR. Hakim]
Ucapan tersebut adalah wahyu syaitan untuk mendebat kaum muslimin agar setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah, dan agar setuju dengan penyandaran hukum kepada mereka, maka Allah tegaskan, bahwa apabila mereka (kaum muslimin) setuju dengan hal itu berarti mereka telah musyrik. dan dalam ayat lain Allah ta’ala berfirman:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka (orang-orang Nashrani) telahtelah menjadikan para Harb (ahli ilmu/ulama) dan para Rahib (ahli ibadah) sebagai Arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah. Juga Al Masih putera Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan Yang Haq kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS. At Taubah [9]: 31)
Dalam ayat ini Allah vonis orang-orang Nashrani sebagai berikut:
- Mereka telah mempertuhankan para ahli ilmu dan para rahib
- Mereka telah beribadah kepada selain Allah.
- Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
- Mereka telah musyrik
- Juga para ahli ilmu dan para rahib tersebut Allah vonis mereka sebagai Arbaab.
Imam At Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang shahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka, atau apa bentuk penyekutuan atau penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka? Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?” Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: “Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).”
Jadi orang Nashrani divonis musyrik karena mereka setuju dengan penyandaran hukum kepada ahli ilmu dan para rahib, meskipun itu menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Jadi orang Nashrani divonis musyrik karena mereka setuju dengan penyandaran hukum kepada ahli ilmu dan para rahib, meskipun itu menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Sedangkan pada masa sekarang, orang meyakini bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik, atau minimal boleh menurut mereka. Padahal demokrasi berintikan pada penyandaran wewenang hukum kepada kedaulatan rakyat atau wakil-wakilnya, sedangkan ini adalah syirik, maka orang tersebut tidak kufur terhadap thaghut dan dia itu belum muslim. Allah ta’ala berfirman berkaitan dengan semua peribadatan di atas:

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ

“Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq, dan sesungguhnya apa yang mereka seru selain Dia adalah bathil (QS. Luqman [31]: 30)
juga firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ

Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq dan sesungguhnya apa yang mereka seru selainNya adalah yang bathil” (QS. Al Hajj [22]: 62)
II.    Engkau meninggalkannya
Meyakini perbuatan syirik itu adalah bathil belumlah cukup, namun harus disertai meninggalkan perbuatan syiriknya itu. Orang yang meyakini pembuatan tumbal/sesajen itu bathil, akan tetapi karena takut akan dikucilkan masyarakatnya lalu ia melakukan hal tersebut maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Orang yang meyakini bahwa demokrasi itu syirik, tetapi dengan dalih ‘Maslahat Dakwah’ lalu ia masuk kedalam system demokrasi tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Seperti orang yang membuat partai-partai berlabel Islam dalam rangka ikut dalam ‘Pesta Demokrasi’
Sesungguhnya kufur terhadap thaghut menuntut seseorang untuk meninggalkan dan berlepas diri dari kemusyrikan tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (QS. Az Zukhruf [43]: 26)
Jjuga firman-Nya ta’ala tentang Ibrahim alaihissalam:

وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ

Dan saya tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah” (QS. Maryam [19]: 48)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi akan laa ilaaha ilallaah…” (Muttafaq ‘alaih)
Sedangkan orang yang tidak meninggalkan syirik, maka dia itu tidak diangap syahadatnya, karena yang dia lakukan bertentangan dengan apa yang dia ucapkan, oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Dan siapa yang bersyahadat laa ilaaha ilallaah, namun disamping ibadah kepada Allah dia beribadah kepada yang lain juga, maka syahadatnya tidak dianggap meskipun dia shalat, shaum, zakat dan melakukan amalan Islam lainnya” (Ad Durar As Saniyyah : 1/323, Minhajut Ta’sis : 61).
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata : “Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak dianggap muslim kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya” [Ad Durar As Saniyyah : 2/545]. Beliau juga berkata: “Siapa yang berbuat syirik, maka dia telah meninggalkan Tauhid” (Syarah  Ashli Dienil Islam, Majmu’ah tauhid).
Orang berbuat syirik, dia tidak merealisasikan firman-Nya:

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Dan mereka itu tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh ketundukan kepada-Nya” (QS. Al Bayyinah [98]: 5).
Orang yang melakukan syirik akbar meskipun tujuannya baik maka dia tetap belum kufur terhadap thaghut.
Al Imam Su’ud Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah berkata: “Orang yang memalingkan sedikit dari (ibadah) itu kepada selain Allah maka dia itu musyrik, sama saja dia itu ahli ibadah atau orang fasik, dan sama saja maksudnya itu baik atau buruk” (Durar As Saniyyah : 9/270).
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya pelafalan laa ilaaha ilallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya berupa komitmen terhadap tauhid, meninggalkan syirik, dan kufur kepada thaghut maka sesungguhnya hal (syahadat) itu tidak bermanfaat, atas ijma (para ulama)” (Kitab Taisir)
Syaikh Hamd Ibnu Athiq rahimahullah berkata: “Para ulama ijma, bahwa siapa yang memalingkan sesuatu dari dua macam do’a kepada selain Allah, maka dia telah musrik meskipun dia mengucapkan Laa ilaaha ilallaah Muhammadur Rasulullah, dia shalat, shaum dan mengaku muslim” (Ibthal At Tandid : 76).
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Orang tidak disebut muwahhid kecuali dengan cara menafikan syirik dan bara’ah darinya”
Jadi, orang yang tidak meninggalkan syirik, dia tidak kufur terhadap thaghut.
III.      Engkau Membencinya
Orang yang meninggalkan perbuatan syirik akan tetapi dia tidak membencinya, maka dia belum kufur terhadap thaghut. Ini dikarenakan Allah mensyaratkan adanya kebencian terhadap syirik dalam merealisasikan tauhid kepadaNya. Allah ta’ala berfirman tentang Ibrahim ‘alaihissalam:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ

“Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati (QS. Az Zukhruf [43]: 26)
Kata bara’ (berlepas diri) dari syirik itu menuntut adanya kebencian akan adanya syirik itu. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”
Kebencian terhadap syirik ini berbentuk realita, yaitu tidak hadir di majelis syirik saat syirik sedang berlangsung. Sebagai contoh: orang yang hadir ditempat membuat atau mengubur tumbal yang sedang dilakukan, maka dia itu sama dengan pelakunya. Allah Ta’ala berfirman:

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

“Dan sungguh Dia telah menurunkan kepada kalian dalam Al Kitab, yaitu bila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya kalian (bila duduk bersama mereka saat hal itu dilakukan), berarti sama (status) kalian dengan mereka” (QS. An Nisa [4]: 140)
Jadi orang yang duduk dalam majelis di mana kemusyrikan atau kekufuran sedang berlangsung atau sedang dilakukan atau dilontarkan (diucapkan) dan dia duduk tanpa dipaksa dan tanpa mengingkari hal tersebut maka dia sama kafir dan musyrik seperti para pelaku kemusyrikan tersebut.
Seandainya kalau tidak dapat mengingkari dengan lisannya maka hal tersebut harus diingkari dengan hatinya yang berbentuk sikap meninggalkan majelis tersebut. Sungguh sebuah kesalahan fatal orang yang mengatakan: “Saya ingkar dan benci dihati saja”  sedangkan dia tidak pergi meninggalkan majelis tersebut.
Oleh karenanya para shahabat pada masa khalifah Utsman radliyallahu ‘anhu berijma’ atas kafirnya seluruh jama’ah mesjid di kota Kuffah saat salah seorang di antara mereka mengatakan: “Saya menilai apa yang dikatakan Musailamah itu bisa jadi benar” dan yang lain hadir di mesjid itu tanpa mengingkari ucapannya seraya pergi darinya”. (Riwayat para penyusun As Sunan/Ash habus Sunan).
Orang yang tidak membenci ajaran syirik, agama kufar, system kafir, dan thaghut berarti ia tidak kufur terhadap thaghut.
IV.     Engkau Mengkafirkan Pelakunya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkafirkan para pelaku syirik akbar dalam banyak ayat, di antaranya:

أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

“Dan orang-orang yang menjadikan sembahan-sembahan selain Allah, (mereka mengatakan): “kami tidak beribadah kepada mereka, melainkan supaya mereka itu mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah memutuskan di antara mereka dihari kiamat dalam apa yang telah mereka perselisihkan, sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang yang dusta lagi sangat kafir”.  (QS. Az Zumar [39]: 3)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ

“Dan siapa yang menyeru ilaah yang lain bersama Allah yang tidak ada bukti dalil kuat buat itu baginya, maka perhitungannya hanyalah disisi Rabnya, sesungguhnya tidak beruntung orang-orang kafir itu” (QS. Al Mukminun [23]: 117)
Bila Allah mengkafirkan para pelaku syirik, maka orang yang tidak mengkafirkan mereka berarti tidak membenarkan Allah. Dia Subhanahu Wa Ta’ala juga telah memerintahkan untuk mengkafirkan para pelaku syirik, di antaranya adalah firman-Nya:

وَإِذَا مَسَّ الإنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ لِلَّهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيلا إِنَّكَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah supaya dia menyesatkan dari jalan-Nya, katakanlah: “Nikmatilah kekafiranmu sebentar, sesungguhnya kamu tergolong penghuni neraka”, (QS. Az Zumar [39]: 8)
Dan orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik, berarti dia menolak perintah Allah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam besabda: “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha ilallaah dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya adalah atas Allah” (HR. Muslim)
Para imam dakwah Najdiyyah telah menjelaskan maksud sabda nabi Shalallahu’alaihi wa sallam: “dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah” maksud  kalimat tersebut adalah: Mengkafirkan pelaku syirik dan berlepas diri dari mereka dan dari apa yang mereka ibadati  (Durar As Saniyyah: 291)
Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar adalah orang yang tidak kufur kepada thaghut:
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia telah kafir” (Risalah Nawaqidlul Islam).
            Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Seseorang tidak menjadi muwahhid kecuali dengan menafikan syirik, berlepas diri darinya dan mengkafirkan pelakunya” (Syarh Ashli Dienil Islam-Majmu’ah Tauhid)
Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Dan sebahagian ulama memandang bahwa hal ini (mengkafirkan pelaku syirik) dan jihad diatasnya adalah salah satu rukun yang mana Islam tidak tegak tanpanya” (Mishbahuzh Zhalam: 28). Beliau berkata lagi: “Adapun menelantarkan jihad dan tidak mengkafirkan orang-orang murtad, orang yang menjadikan andaad (tandingan-tandingan) bagi Tuhannya, dan orang yang mengangkat andaad dan arbaab (tuhan-tuhan) bersama-Nya, maka sikap seperti ini hanyalah ditempuh oleh orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang yang tidak mengagungkan perintah-Nya, tidak meniti jalan-Nya dan tidak mengagungkan Allah dan Rasul-Nya dengan pengagungan yang sebenar-benarnya pengagungan terhadap-Nya, bahkan dia itu tidak menghargai kedudukan ulama dan para imam umat ini dengan selayaknya” (Mishbahuzh Zhalam: 29).
Para imam dakwah Nejed berkata: “Di antara hal yang mengharuskan pelakunya diperangi adalah sikap tidak mengkafirkan pelaku-pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka karena sesungguhnya hal itu termasuk pembatal dan penggugur keislaman. Siapa yang memiliki sifat ini maka dia telah kafir, halal darah dan hartanya serta wajib diperangi sehingga dia mengkafirkan para pelaku syirik” (Durar As Saniyyah: 9/291)
Mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, dia itu tidak membenarkan Al Qur’an, karena sesungguhnnya Al Qur’an telah mengkafirkan para plaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhi mereka dan memerangi mereka” (Ad Durar As Saniyyah: 9/291)
Jadi, takfir (mengkafirkan) para pelaku syirik adalah bagian Tauhid dan pondasi dien ini, bukan fitnah sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Allah dari kalangan ulama suu’ (ulama jahat) kakitangan thaghut dan kalangan neo murji’ah. Orang mengkafirkan pelaku syirik bukanlah Khawarij, justeru mereka itu adalah penerus dakwah rasul-rasul. Orang yang menuduh mereka sebagai Khawarij adalah orang yang tidak paham akan dakwah para rasul.
Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata: “Siapa yang menjadikan pengkafiran dengan syirik akbar termasuk aqidah Khawarij maka sungguh dia telah mencela semua rasul dan umat ini. Dia tidak bisa membedakan antara Dien para rasul dengan madzhab Khawarij, dia telah mencampakan nash-nash Al Qur’an dan dia mengikuti selain jalan kaum muslimin” (Mishbahudz Dzalam: 72)
Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar secara nau’ (jenis pelaku) maka dia kafir, sedangkan orang yang membedakan antara nau’ dengan mu’ayyan (orang tertentu) maka minimal jatuh dalam bid’ah dan bila (sudah) di tegakan  hujjah atasnya maka dia kafir juga.
Orang yang tidak mau mengkafirkan para pelaku syirik pada umumnya dia lebih loyal kepada pelaku syirik dan justru memusuhi para muwahhid yang mengkafirkan pelaku syirik. Demikianlah realita yang terjadi, sehingga banyak yang jatuh dalam kekafiran. Tidaklah sah shalat dibelakang orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik secara mu’ayyan.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Siapa yang membela-bela mereka (para thaghut dan pelaku syirik akbar) atau mengingkari terhadap orang yang mengkafirkan mereka, atau mengklaim bahwa: “perbuatan mereka itu meskipun bathil tetapi tidak mengeluarkan mereka pada kekafiran”, maka status minimal orang yang membela-bela ini adalah fasiq, tidak diterima tulisannya, tidak pula kesaksiannya, serta tidak boleh shalat bermakmum dibelakangnya” (Ad Durar As Saniyyah: 10/53).
Ini adalah status minimal, adapun kebanyakan berstatus sebagaimana yang digambarkan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah: Orang-orang yang merasa keberatan dengan masalah takfir, bila engkau mengamati mereka ternyata kaum muwahhidin adalah musuh mereka, mereka benci dan dongkol kepada para muwahhid itu. Sedangkan para pelaku syirik dan munafikin adalah teman mereka yang mana mereka bercengkrama dengannya. Akan tetapi hal seperti ini telah menimpa orang-orang yang pernah bersama kami di Diriyah dan Uyainah yang mana mereka murtad dan benci akan dien ini. (Ad Durar As Saniyyah: 10/92)
V.     Engkau Memusuhi Mereka
Orang yang tidak memusuhi pelaku syirik bukanlah orang yang kufur kepada thaghut, Allah berfirman tentang ajaran Ibrahim alaihissalam. Dan para nabi yang bersamanya:

وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Dan tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selamanya hingga kalian beriman kepada Allah saja” (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)
Dan firman-Nya Ta’ala :

لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kalian tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka itu ayah-ayahnya, anak-anaknya, saudara-saudaranya atau karib kerabatnya” (QS. Al Mujadillah [58]: 22)
Syaikh Muhammad rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya orang tidak tegak keIslamnnya walaupun ia mentauhidkan Allah dan meninggalkan kemusyrikan kecuali dengan memusuhi para pelaku syirik”. (Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, Majmu At Tauhid: 21)
Permusuhan lainnya adalah loyalitas-loyalitas kepada orang kafir. Menafikan (meniadakan) keimanan/tauhid, Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

“Dan siapa yang berloyalitas kepada mereka (orang-orang kafir) di antara kalian, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka” (QS. Al Maidah [5]: 51)
Karena permusuhan ini Allah Ta’ala berfirman:

فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ

“Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di manapun kalian mendapati mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka ditempat pengintaian” (QS. At Taubah [9]: 5)
Semua ini adalah cara kufur kepada thaghut…

Minggu, 17 Februari 2013

Membaca Manhaj Haraki : Mendirikan Negara "serbasejarah"

Semenjak da’wah terang-terangan, tiga tahun setelah kenabian, Rasulullah saw. senantiasa mendatangi orang-orang di berbagai acara musiman dan pasar Arab guna mengajak mereka beriman kepada Allah, “Ucapkanlah laa ilaaha illallah, niscaya kalian beroleh kemenangan.” Selanjutnya, Rasulullah saw. mengajak mereka untuk meninggalkan berhala-berhala dan sesembahan selain Allah. Sedangkan, dalam musim (haji) ini—yakni pada tahun kesepuluh dan kesebelas kenabian—maka telah terjadi perubahan dan perkembangan daripada tahun- tahun sebelumnya.
Ibnu Ishaq berkata, “Ketika Allah hendak memenangkan agama-Nya, mendukung nabi-Nya, dan menunaikan janji-Nya kepadanya, Rasulullah saw. keluar di musim (haji) menemui beberapa orang Anshar dan mendatangi kabilah-kabilah Arab sebagaimana biasa dilakukan di setiap musim. Ketika berada di Aqabah, beliau bertemu dengan beberapa orang dari Khazraj yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan.
Ketika bertemu dengan mereka, Rasulullah saw. bertanya, “Siapakah kalian?” Mereka menjawab, “Orang-orang dari Khazraj.” Nabi saw. bertanya lagi, “Apakah kalian termasuk yang bersahabat dengan orang-orang Yahudi?” Mereka menjawab, “Ya, benar.” “Apakah kalian bersedia duduk bersama kami untuk bercakap-cakap?” tanya Nabi saw. “Baik,” jawab mereka. Mereka lalu duduk bersama beliau. Beliau mengajak mereka supaya beriman kepada Allah, menawarkan agama Islam kepada mereka, kemudian membacakan beberapa ayat suci al-Qur’an.
Sewaktu Rasulullah saw. mengajak orang-orang tersebut berbicara dan menyeru mereka supaya beriman kepada Allah, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Demi Allah, kalian tahu bahwa dia adalah nabi yang dijanjikan oleh orang-orang Yahudi kepada kalian. Karena itu, janganlah sampai mereka mendahului kalian!” Kemudian mereka menyambut baik ajakan Nabi saw. yang ditawarkan beliau. Mereka lalu berkata, “Kami tinggalkan kabilah kami yang selalu bermusuhan satu sama lain. Tidak ada kabilah yang saling bermusuhan begitu hebat seperti mereka, masing-masing berusaha menghancurkan lawannya. Mudah-mudahan dengan Anda, Allah akan mempersatukan mereka lagi. Kami akan mendatangi mereka dan mengajak mereka supaya taat kepada Anda. Kepada mereka akan kami tawarkan juga agama yang telah kami terima dari Anda. Apabila Allah mempersatukan mereka di bawah pimpinan Anda, maka tidak ada orang lain yang lebih mulia daripada Anda!” Mereka kemudian pulang ke negeri mereka dalam keadaan telah beriman kepada Allah dan memeluk agama Islam. Mereka ini berjumlah enam orang dari Khazraj.
Sesampainya di Yastrib, mereka lalu menceritakan kepada penduduknya tentang Rasulullah saw. dan mengajak mereka untuk memeluk Islam. Begitu cepat hasil ajakan mereka sehingga tak ada rumah di Yastrib yang tidak membicarakan Rasulullah saw. Tampaknya pertemuan Nabi saw. dengan beberapa orang Khazraj ini terjadi secara “sambil lewat” saja. Ini terbukti dari ajakan Nabi SAW kepada mereka untuk duduk bercakap-cakap. Pertemuan ini merupakan takdir Allah yang dikaruniakan-Nya kepadanya untuk kepentingan da’wah-Nya.
Ibnu Ishaq berkata, “Pada tahun berikutnya, datanglah orang dari Anshar menemui Rasulullah di Aqabah, Aqabah pertama. Mereka kemudian membai’at Rasulullah seperti bai’at kaum wanita, bai’at sebelum perang. Di antara mereka terdapat As’ad bin Zurarah, Rafi’ bin Malik, Ubadah bin Shamit, dan Abui Haitsam bin Tihan.”
Dari Ubadah bin Shamit, ia berkata, “Aku termasuk salah seorang yang hadir dalam bai’at pertama. Kami berjumlah dua belas orang lelaki. Kemudian kami mengucapkan bai’at kepada Rasulullah seperti bai’at kaum wanita, sebelum diwajibkan perang, ‘Bahwasanya kami tidak akan mempersekutukan Allah dengan apa pun, kami tidak akan mencuri, kami tidak akan berzina, kami tidak akan membunuh anak- anak kami, kami tidak akan berdusta untuk menutup-nutupi apa yang ada di depan atau di belakang kami, dan tidak akan membantah perintah beliau dalam hal kebajikan….”
Pada tahun baru, setelah pertemuan pertama, dua belas orang lelaki datang ke Mekah bersama-sama dengan orang-orang yang menghadiri acara musiman. Sesuatu yang baru dalam urusan ini ialah bahwa mereka mewakili dua komunitas besar, Aus dan Khazraj. Dengan demikian, tidak akan terjadi perang kabilah di mana Khazraj mewakili pihak Islam dan Aus mewakili pihak jahiliah. Bahkan, kelompok inti dan pelopor ini telah berhasil memadamkan api peperangan yang baru saja berkobar, kemudian menghimpun mereka dalam satu jama’ah.
Ba’iat Aqobah 2 : Persiapan Berdirinya Negara
Nabi SAWBerkata Ka’ab bin Malik, “Kami berangkat bersama rombongan haji dari kaum kami yang musyrik, waktu itu kami sudah shalat dan memahami (Islam). Di antara rombongan yang berangkat bersama kami terdapat Barra’ bin Ma’rur, pemimpin dan tokoh kami…. Kami berjanji kepada Rasulullah untuk bertemu di Aqabah pada pertengahan hari Tasyriq…. Pada malam itu, kami tidur bersama rombongan dalam perjalanan. Setelah lewat tengah malam, kami berangkat menuju tempat yang telah kami tetapkan bersama Rasulullah. Kami jalan menyelusup secara diam-diam seperti burung qatha (sejenis burung yang berjalan secara gesit dan ringan—Penj.) hingga kami tiba di sebuah lembah dekat Aqabah. Kami semua terdiri dari 73 orang pria dan 2 orang wanita, Nashihah binti Ka’ab dan Asma’ binti Amer bin Adi.
Setelah beberapa lama kami berkumpul di lembah Aqabah menunggu kedatangan Rasulullah, datanglah beliau bersama Abbas bin Abdul Muthallib yang ketika itu belum memeluk Islam, tetapi ia ingin turut hadir untuk membuktikan sendiri apa yang akan dihadapi kemenakannya (yakni Rasulullah).
Setelah duduk, Abbas sebagai pembicara pertama berkata ;
“Hai orang-orang Khazraj (orang-orang Arab dahulu menamakan orang-orang Anshar dengan Khazraj, baik itu dari kaum Aus maupun dari Khazraj), sebagaimana kalian telah mengetahui, Muhammad adalah seorang dari kerabat Iwrni. Kami melindunginya dari gangguan orang-orang yang sependapat dengan kami mengenai dia. la mendapat perlindungan dari kerabatnya sendiri dan di negerinya sendiri. Akan tetapi, ia tidak menginginkan selain hendak berpihak dan bergabung dengan kalian. Jika sungguh-sungguh akan setia kepadanya dan kepada agamanya; jika kalian sanggup melindunginya dari gangguan orang-orang yang memusuhinya; tanggung jawab atas keselamatannya kami serahkan kepada kalian! Akan tetapi, jika kalian tidak sanggup melindunginya dan hendak kalian serahkan kepada musuh-musuhnya setelah ia bergabung dengan kalian, maka mulai sekarang baiklah ia kalian tinggalkan saja, karena ia sudah berada di bawah perlindungan kerabatnya di negerinya sendiri. …
Ketika itu kami jawab,“‘Kami telah mendengar apa yang Anda katakan. Sekarang kami minta supaya Rasulullah berbicara sendiri kepada kami. Ya Rasulullah, katakanlah apa yang engkau inginkan dan yang Allah inginkan pula dari kami..  Wahai Rasul Allah, apakah yang perlu kami nyatakan kepada Anda dalam pembai’atan ini?’
Nabi saw. menjawab ;
 1. Berjanji taat dan setia baik dalam keadaan sibuk maupun senggang. 2. Berinfaq, baik dalam keadaan longgar maupun sempit. 3. Menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. 4. Teguh membela kebenaran Allah tanpa rasa takut dicela orang. 5. Tetap membantuku dan akan tetap membelaku bila aku berada di tengah-tengah kalian, sebagaimana kalian membela diri kalian sendiri dan anak istri kalian. Dengan demikian, kalian akan memperoleh surga.”
Al-Barra’ bin Ma’rur kemudian memegang tangan Rasulullah seraya berkata, ‘Demi Allah, yang mengutus Anda membawa kebenaran, kami berjanji akan melindungi Anda sebagaimana kami melindungi istri-istri kami. Wahai Rasul Allah, baiatlah kami dan demi Allah, kami semua mempunyai darah prajurit yang kami warisi dari nenek moyang kami.
Di saat Barra’ bin Ma’rur masih berbicara dengan Rasulullah, Abu Haitsam bin Taihan menukas dan berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, kami terikat oleh suatu perjanjian dengan orang- orang Yahudi dan perjanjian itu akan kami putuskan! Kalau semuanya itu telah kami lakukan, kemudian Allah memenangkan Anda, apakah Anda akan kembali lagi kepada kaum Anda dan meninggalkan kami?
Mendengar pertanyaan itu Rasulullah tersenyum, kemudian berkata, ‘Darah kalian darahku; negeri kalian negeriku; aku dari kalian dan kalian dari aku. Aku akan berperang melawan siapa saja yang memerangi kalian dan aku akan berdamai dengan siapa saja yang berdamai dengan kalian….
Kelima butir bai’at di atas sudah sangat jelas dan tegas, tidak mengandung kekurangsiapan ataupun keraguan. Sebab, baiat untuk Islam (dalam pengertian yang sektoral) tidak sama dengan bai’at untuk menegakkan negara Islam. Orang-orang yang siap hanya sebagai penambah jumlah kaum muslimin tidak sama dengan orang-orang yang siap untuk menjadi tulang punggung, mengorbankan nyawa dan harta mereka demi tegaknya negara Islam. Itulah sebabnya bai’at yang tidak menyebutkan perang dan jihad dalam sejarah, di antaranya bai’at Aqabah pertama, disebut sebagai Bai’at an-Nisa. Sedangkan, bai’at (Aqabah kedua) ini disebut Baiatul Harbi ‘bai’at perang’.
Barra’ bin Ma’rur adalah perunding resmi dan kepala utusan perunding. Ia masuk Islam melalui aktivitas para da’i di perja- lanan. Dalam pembai’atan ini, ia menawarkan segenap potensi kaumnya kepada Rasulullah: kaumnya adalah ahli perang dan senjata. Ini berarti bagi gerakan Islam. Pertama, ia harus mengetahui potensi dan kekuatan perangnya. Kedua, ia harus mengetahui bagaimana mengarahkan potensi-potensi tersebut secara tepat dan cermat. Setiap prajurit yang memiliki keahlian perang harus pula menempati bidangnya. Bahkan, gerakan Islam harus menggali potensi-potensi Islam dan pendukung dari setiap sumur agar menunaikan peran yang diharuskan. Apabila orang-orang yang memiliki potensi ini telah mereguk pengalaman operasional dan peperangan riil maka kemampuan mereka dalam bidang perencanaan militer dan peperangan akan semakin meningkat.
Memperkokoh dan Mempertegas Bai’at
Al-’Allamah al-Mubarakfuri di dalam kitabnya ar-Rahiqul Makhtum berkata, “Setelah selesai pembicaraan sekitar syarat-syarat bai’at dan mereka pun telah sepakat untuk memulai peng-aqad- annya, berdirilah dua orang dari generasi pertama yang masuk Islam pada tahun kesebelas dan kedua belas kenabian. Keduanya bangkit secara bergantian menegaskan besarnya tanggung jawab yang harus dipikul, agar mereka tidak menyatakan bai’at kecuali setelah me-mahami segala konsekuensinya secara jelas di samping kedua orang tersebut ingin mengetahui sejauh manakah kesiapan mereka untuk berkorban.
Berkata Ibnu Ishaq, “Ketika mereka telah berkumpul untuk menyatakan bai’at, al-Abbas bin Ubadah bin Nadhalah berkata, “Apakah kalian menyadari untuk apa kalian berbaiat kepada orang ini (Nabi saw.)?” Mereka menjawab, “Ya.” Al-Abbas berkata, “Sesungguhnya kalian berbaiat kepadanya untuk berperang melawan semua manusia (yang berkulit merah ataupun yang berkulit hitam). Jika kalian tidak siap mengorbankan harta dan nyawa, dari sekarang sajalah, dan ini merupakan kehinaan dunia dan akhirat. Tetapi, jika kalian setia menepati baiat dengan kesiapan sepenuhnya untuk mengorbankan harta dan nyawa maka ambillah baiatnya dan ia merupakan kebaikan dunia dan akhirat.” Mereka menjawab, “Kami mengambil baiat dan siap mengorbankan harta dan nyawa. Jika kami setia melakukan hal tersebut, lalu apa balasan kami wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Surga.” Mereka menyahut, “Ulurkan tanganmu!” Lalu Nabi saw., mengulurkan tangannya dan mereka pun membai’atnya. Selanjutnya mereka berkata, “Beruntunglah jual beli ini. Kami tidak mau ketinggalan dan tidak akan membatalkannya.”
Jabir ra. berkata, “Kemudian kami berdiri satu persatu berbaiat kepadanya, la memberikan kepada kami surga atas kesetiaan kami kepada baiat tersebut.” Adapun bai’at kedua wanita yang ikut hadir dalam peristiwa ini adalah secara lisan saja. Rasulullah saw. tidak pernah berjabat tangan sama sekali dengan wanita asing (bukan mahram-nya).
Mereka semua menerima bai’at, tak seorang pun yang tertinggal Bahkan, kedua wanita itu berbai’at dengan bai’at perang. Keduanya setia sampai akhir hayatnya kepada bai’at ini. Ummu Imarah terkena tusukan sebanyak 12 tusukan pada Perang Uhud. Sedangkan, anaknya dicincang oleh Musailamah si pendusta, tetapi ia tidak pernah lemah semangat atau menyerah. Pada bai’at ini, wanita menjadi rijal (pejuang tangguh) yang berperang dan berbai’at untuk mengorbankan nyawa dan berperang melawan semua manusia yang menentang Islam.

Kelahiran Negara Islam

Ibnu Ishaq berkata, “Sesungguhnya Allah mengizinkan Nabi saw. untuk melakukan peperangan, sementara itu kaum Anshar pun telah berbai’at kepadanya untuk memeluk Islam dan membelanya. Maka Rasulullah saw. memerintahkan para sahabatnya yang ada di Mekah agar berhijrah ke Yastrib (Madinah) dan bergabung bersama saudara-saudara mereka dari kaum Anshar. Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah menjadikan untuk kalian saudara-saudari seaqidah dan negeri yang aman bagi kalian”. Kemudian mereka keluar secara bertahap, sedangkan Nabi tetap tinggal di Mekah menunggu izin dari Allah untuk keluar dari Mekah dan hijrah ke Yastrib (Madinah). Demikianlah secara bergelombang kaum muslimin melakukan hijrah ke Yastrib tanpa diketahui oleh kaum musyrikin kecuali setelah mereka sampai di luar Mekah…. Dan sampailah waktu dimana Rosululloh meninggalkan Mekah bersama Abu Bakar menuju Yastrib.
Tola’al badru alaika/Telah terbit kepada kami bulan purnama (Nabi saw.). Mintsani’atil wada’a/Dari arah Tsaniatil Wada’. Wajaba Syukru ‘alaika/Kami wajib bersyukur, Mada’a lillahi da’a/atas ajakan seorang (nabi) pada jalan Allah. Ayyuhal Mab’usu fi’na/Wahai rasul yang diutus kepada kami. Ji’ta bil’amri La tho’i/ Engkau telah datang membawa urusan yang ditaati.”
Akhirnya, berdirilah negara Islam yang pertama di permukaan bumi dengan kawalan para malaikat langit, setelah perjuangan jihad yang berat selama tiga belas tahun. Langkah pertama dalam periode ini adalah membangun masjid yang akan menjadi markas bertolaknya negara, pusat mengendalikan pemerintahan, tempat komando militer, dan pusat pembinaan yang pertama.
Bila kita perhatikan kembali haluan umum periode ketiga dari masa Makkiyyah ini, yang dimulai dari perjalanan berdarah ke Tha’if kemudian pengorbanan kaum Muhajirin, dan sumpah setia kaum Anshar untuk membelanya (kami telah berbai’at kepada Muhammad untuk jihad selama hayat di kandung jasad), niscaya kita mengetahui pentingnya periode ini dan betapa kecerdasan kenabian dalam menegakkan negara, tanpa pertumpahan darah sedikit pun.

Membaca Manhaj Haraki ; Manhaj Juang Nabi SAW (Bagian-3)"serbasejarah"

Hijrah Pertama Ke Habasyah

Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dalam Sirah-nya bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada kaum muslimin,
“Sebaiknya kalian pergi ke Habasyah karena di sana ada seorang raja yang adil sekali. Di dalam kekuasaannya tidak seorang pun boleh dianiaya, di sana adalah bumi kejujuran. Sampai Allah memberikan jalan keluar kepada kalian.”
hijrah-0Sejak itu, kaum muslimin dan para sahabat Rasulullah saw. berangkat ke Habasyah karena takut fitnah dan menuju ridha Allah, dengan membawa agama mereka. Inilah hijrah yang pertama dalam Islam. “… Mereka berangkat pada bulan Rajab tahun kelima dari kenabian sampai di Habasyah pada bulan Sya’ban dan Ramadhan. Orang-orang Quraisy berangkat mengejar mereka sampai ke pantai, tapi tidak berhasil menangkap seorang pun di antara mereka. Kemudian para Muhajirin ini kembali lagi ke Mekah pada bulan Syawwal karena mendengar berita bahwa orang-orang Quraisy telah mendukung Rasulullah saw.”
Strategi Hjrah merupakan strategi jitu dari Rasulullah saw. ketika beliau mencari basis yang kokoh (qa’idah shalbah) dan tempat lain yang aman bagi da’wah di selain kota Mekah. Agar Quraisy, betapa pun kekuatan yang dimilikinya, tidak dapat menumpas habis eksistensi Islam di muka bumi. Hal ini seyogianya diperhatikan gerakan Islam dalam menyusun strategi dan perencanaannya, agar seluruh potensi personil dan materiilnya tidak ditempatkan di satu tempat sehingga memudahkan musuh untuk menghancurkannya secara total. Tetapi, ia harus memperbanyak tempat-tempat tajammu ‘konsentrasi’ dan keberada- annya, sehingga seandainya kehilangan satu tempat tertentu ia dapat berpindah ke tempat lain.
Tidaklah diragukan bahwa keberangkatan para pemuda muslim ke negeri baru merupakan suatu kesulitan dan pengorbanan besar. Ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh para pemuda yang telah memiliki keimanan kuat yang mampu mengalahkan segala penderitaannya. Penderitaan sebagai orang asing dan berpisah dengan keluarga dan tanah air. Ia tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang yang berkeyakinan dan cintanya kepada aqidah lebih besar dari cintanya kepada negeri dan keluarganya. Ikatan aqidah lebih mendalam dan lebih kuat pengaruhnya di dalam jiwanya daripada ikatan lainnya.
“Katakanlah, Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum kerabat, harta kekayaan yang kauusahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) jihad dijalan- nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik” (at-Taubah [9]: 24).
Hijrah ke Habasyah memiliki sasaran lain yaitu  mencari tempat yang aman bagi da’wah dan basis baru  sebagai titik tolak pergerakan.  Inilah yang disebutkan oleh penulis tafsir Fi Zhilalil Quran—Sayyid Quthb—dengan perkataannya, “Kemudian Rasulullah saw. mencari basis lain selain Mekah. Suatu basis yang dapat melindungi aqidah, menjamin kebebasannya dan mencairkan kebekuan yang telah terjadi di Mekah. Di tempat yang baru ini diharapkan adanya kebebasan da’wah dan perlindungan para pemeluknya dari penindasan dan fitnah…. Menurut saya inilah sebab terpenting dari hijrah.

Memanfaatkan Undang-Undang Masyarakat Musyrik

Masyarakat jahiliah sangat menghargai undang-undang perlindungan pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Jika seorang yang lemah masuk ke dalam jaminan keamanan (jiwa) orang yang kuat maka orang tersebut dapat menikmati perlindungan kebebasan bergerak dan berpikir, sehingga pihak musuh tidak akan dapat mengganggunya sama sekali. Jika ada pihak yang mengganggunya maka ini berarti peperangan antara kedua belah pihak. Oleh sebab itu, orang yang mengumumkan atau memberi perlindungan haruslah orang yang mulia dan terpandang di kaumnya, mampu memberikan perlindungan dan memperhitungkan segala kemungkinan dadakan yang akan terjadi. Perlindungan pertama dalam masyarakat Mekah ialah perlindungan Abu Thalib kepada Muhammad saw..
Berkata Ibnu Ishaq, “Paman Rasulullah saw., Abu Thalib, melindungi dan membelanya sehingga beliau terus melanjutkan da’wahnya tanpa mempedulikan gangguan apa pun. Ketika Quraisy melihat bahwa Rasulullah saw. terus mengecam tuhan-tuhan mereka, sementara Abu Thalib telah melindunginya sehingga menolak menyerahkannya kepada mereka, berangkatlah beberapa orang menemui Abu Thalib. Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, sesungguhnya anak saudaramu telah mengecam tuhan-tuhan dan agama kita, mencela mimpi-mimpi kita, dan menyatakan nenek moyang kita sesat. Kami harap engkau dapat mencegahnya atau biarkan kami bertindak terhadapnya.” Abu Thalib menjawab pernyataan mereka dengan lembut dan baik sampai mereka kembali. Sementara itu, Rasulullah saw. terus melakukan da’wahnya sehingga beliau senantiasa menjadi bahan pembicaraan di kalangan Quraisy. Hal ini membuat mereka semakin benci pada beliau dan berusaha menghentikan da’wahnya.
Berkata Ibnu Ishaq,
“Kemudian Quraisy saling mengecam sesama mereka atas masuknya orang-orang dari masing-masing kabilah ke dalam agama Islam. Setiap kabilah menangkapi anak-anak kabilah-nya yang masuk Islam kemudian menyiksa mereka dan memaksa mereka keluar dari Islam. Dalam pada itu, Allah telah melindungi Rasul-Nya dari tindakan mereka dengan paman- nya, Abu Thalib. Ketika Abu Thalib melihat apa yang dilakukan oleh Quraisy terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthallib, ia bangkit mengajak mereka untuk melindungi Rasulullah saw. dan membelanya. Semua putra Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthallib menyambut seruannya kecuali Abu Lahab dan anaknya.

Blokade Ekonomi dan Pemboikotan Umum untuk Menghancurkan Da’wah dan Para Sekutunya

Terbunuhnya Rasulullah saw. adalah sasaran utama yang dituju olen kaum musyrikin. Adakah para sekutu melakukan petualangan dengan memecah belah barisan Mekah semata-mata demi membela Nabi saw.? Sejauh manakah mereka berjalan dalam garis ini? Blokade dan pemboikotan inilah yang akan membuktikannya.
Sebelum pemboikotan semua urusan berjalan dengan mudah dan lancar. Perlindungan yang diberikan kepada Nabi saw. hanyalah merupakan fanatisme (hamiyah) jahiliah dari kedua kabilah tersebut yang tidak ingin menyerahkan salah seorang putranya kepada kabilah lain. Tetapi, blokade dan pemboikotan ini dimaksudkan untuk memukul hancur kedua kabilah tersebut dan mengucilkannya dari Mekah. Di hadapan mereka terpampang garis permusuhan.
Mekah secara keseluruhan telah berada dalam bahaya sehingga mengakibatkan perpecahan Mekah menjadi dua front besar. Pertama, kaum muslimin beserta Bani Hasyim dan Bani Muthallib, baik yang muslim maupun yang musyrik. Kedua, kaum musyrikin dari kabilah-kabilah Quraisy yang lainnya.
Tidaklah diragukan lagi bahwa kebersihan kepribadian Islam dan ketinggian kedudukannya di kalangan kedua kabilah inilah ayang mendorong sikap tersebut. Kalau saja Rasulullah saw. tidak punya wibawa dan kehormatan di kalangan mereka, niscaya kedua kabilah besar—Bani Hasyim dan Bani Muthallib—tidak akan mau berpetualang melakukan peperangan demi membela Muhammad saw.

Peran Wanita dalam Jihad, Da’wah,  Dan Sirriyah Periode Ini 

Wanita Muslimah tidak boleh tidak harus mengambil perannya dalam pertarungan, mendampingi kaum lelaki. Sebagian besar mereka yang berhijrah ke Habasyah adalah bersama istri-istri mereka. Bahkan, dengan bangga sejarah Islam menyebutkan bahwa makhluk Allah yang pertama kali menyambut Islam adalah wanita. Demikian pula orang yang mati syahid pertama kali dalam Islam. Dengan demikian, wanita muslimah tidak pernah jauh dari medan pertempuran. Bahkan, dengan penuh kesabaran dan ketegaran, ia menghadapi berbagai derita penyiksaan di jalan Allah, termasuk para wanita budak belian- nya. Nahdiah menghadapi penyiksaan dengan penuh kesabaran sampai buta. Sumayyah mengalami penyiksaan berat hingga mati syahid. Fathimah binti al-Khaththab tampil membela suaminya kemudian dia ditampar oleh Umar sampai wajahnya berlumuran darah. Ini adalah salah satu sisi peranannya.
Kalau kita sebutkan semua wanita dunia, pasti Khadijah akan menempati urutan pertama. Ialah yang “mengasuh” da’wah dan da’inya semenjak masa-masa pertama. Ia telah menyerahkan seluruh hartanya untuk dimanfaatkan suaminya. Ia bersabar menghadapi pemboikotan dan kemiskinan, padahal ia termasuk orang terkaya di Mekah. Di samping semua peran tersebut, ia selalu bersikap menghibur, memberikan motivasi, dan meneguhkan Rasulullah saw. Karena itu, ia selalu dikenang oleh Rasulullah saw., sampai ketika mendengar suara saudaranya Halah, atau suara teman-temannya yang sering mengunjunginya di waktu ia masih hidup, Rasulullah saw. merasa senang. Tepatlah jika Rasulullah saw. dan kaum muslimin menyebut tahun kematian Khadijah dan kematian Abu Thalib sebagai tahun duka cita.
Gerakan Islam di masa sekarang sungguh sangat bangga dengan wanita-wanita yang telah syahid dan melakukan jihad dengan harta dan senjata melawan musuh-musuh Allah. Gerakan Islam sangat bangga dengan wanita-wanita yang telah menikah dengan para mujahidin untuk berperan serta dalam jihad fi sabilillah atau menyampaikan berita dan informasi di kalangan mujahidin atau membongkar sarang-sarang musuh. Gerakan Islam juga berbangga dengan wanita-wanita yang telah melakukan hijrah di jalan Allah, karena mereka diburu oleh para thaghut yang ingin melenyapkan mereka. Wanita-wanita muslimah yang tidak pernah menyerah dalam mempertahankan agama mereka sekalipun harus menghadapi berbagai ancaman atau bujukan. Gerakan Islam juga berbangga dengan wanita-wanita muslimah yang dipenjarakan di penjara-penjara para thaghut, karena mempertahankan agama mereka. Bersama ini kami menghimbau para akhwat mu’minah untuk berperan serta dalam jihad ini dan bergabung di bawah panji gerakan Islam guna melakukan peran utama yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh wanita.

Tidak Melepaskan Satu Bagian Ajaran  Sekalipun Demi Perlindungan  

Setelah wafatnya Abu Thalib, bangkitlah rasa fanatisme di kepala Abu Lahab, ketika melihat gencarnya penyiksaan yang dilancarkan Quraisy terhadap anak saudaranya, Muhammad. Kemudian dia datang kepada Nabi saw. seraya berkata, “Pergilah wahai anak saudaraku dan teruskanlah apa yang pernah kamu lakukan semasa Abu Thalib masih hidup. Lakukanlah!”
Sikap ini tentunya sangat mengguncangkan Quraisy yang telah merencanakan penghancuran perlindungan tersebut. Tetapi, kemudian Quraisy berhasil ketika mendesak Abu Lahab agar menanyakan Rasulullah saw. tentang Abdul Muthallib. Rasulullah saw. dihadapkan kepada dua persoalan. Perlindungan dapat berjalan terus dengan syarat mau “berdamai” dan “menawar” satu kalimat dari ajaran Islam, atau semua perlindungan dibatalkan jika Nabi saw. menyebut hukum Allah tentang Abu Thalib. Karena perlindungan tidak boleh didapatkan dengan cara mengorbankan aqidah maka dengan tegas Nabi saw. menjawab pamannya, Abu Lahab, “Dia (Abu Thalib) di neraka.” Serta merta Abu Lahab berkata, “Aku masih tetap menjadi musuhmu untuk selama-lamanya.” Kemudian ia kembali bergabung kepada front Quraisy.
Kalau kita bertanya mengapa Rasulullah saw. bersikeras menjelaskan hukum Allah tentang Abdul Muthallib, padahal penjelasan itu akan mengakibatkan hilangnya perlindungan kepadanya dan kepada kaum muslimin? Jawabannya ialah jika hukum ini tidak dijelaskan, berarti Abdul Muthallib benar, sedangkan Quraisy secara keseluruhan mengikuti millah Abdul Muthallib. Dengan demikian, tidak perlu lagi adanya pemisahan antara kedua kelompok dan mungkin diadakan “pertemuan” antara kekafiran dan Islam di tengah jalan. Berdasarkan petunjuk inilah hendaknya gerakan Islam bersikap terhadap para musuhnya.
“Dan sesungguhnya, mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu, tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat setia. Dan, kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami” (al-Isra’ [17]: 73-75).