Manhaj haraki ialah langkah-langkah
terprogram (manhajiah) yang ditempuh Nabi saw. dalam gerakan da’wahnya,
semenjak kenabiannya sampai berpulang kepada Allah. Jika kita ingin agar
gerakan Islam yang kita lakukan berjalan secara benar, kita harus
melacak tahapan-tahapan pergerakan Rasulullah saw. langkah demi langkah
serta mengikuti langkah-langkah tersebut. Firman Allah :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat“(al-Ahzab [33]: 21).
Tidak diragukan lagi bahwa mengikuti langkah-langkah dan tahapan-tahapan da’wah ini adalah masalah taabuddi. Jika kita mengikutinya, kita akan sampai kepada mardhatillah.
Selain itu, ia merupakan “panduan” bagi gerakan Islam dalam langkah
politisnya guna mencapai sasaran menegakkan pemerintahan Allah di muka
bumi. Manhaj haraki ini merupakan taujih Rabbani ‘arahan
Ilahi’. Allah sajalah yang menuntun Nabi-Nya dalam seluruh
langkah-langkahnya. Ia bukan sekadar reaksi spontan terhadap situasi
yang menghadangnya.
Periode-periode manhaj ini ditentukan dalam lima periode yang kami istilahkan sebagai berikut. Periode pertama: Sirriyatu ad-Da’wah dan Sirriyatu at-Tanzhim. Periode kedua: Jahriyatu ad-Dawah dan Sirriyatu at-Tanzhim. Periode ketiga: Iqamatu ad-Daulah. Periode keempat: ad-Daulah wa Tatsbiti Da’a ‘imiha. Periode kelima: Intisyaru ad-Da’wah fil al-Ardhi.
BERDA’WAH SECARA SEMBUNYI-SEMBUNYI DAN MERAHASIAKAN STRUKTUR ORGANISASI
KARAKTERISTIK PERIODE PERTAMA
- KARAKTERISTIK PERTAMA : Da’wah Secara Rahasia
Periode ini dimulai dari Gua Hira’ (kenabian) dan berakhir tiga tahun setelah kenabian, ketika turun firman Allah, “Wa andzir ‘asyiratakal aqrabin” (asy-Syu’ara’ [26]: 214) dan firman Allah, “Fashda’ bimaa tu’mar wa ‘aridh ‘anil musyrikin” (al-Hijr [15]: 94).
“Setelah Jibril datang kepada Rasulullah di Gua Hira’ dan membacakan kepadanya: Iqra bismi Rabbikal ladzi khalaq,
Rasulullah saw. pulang ke rumah Khadijah. Beliau tinggal diam selama
masa yang dikehendaki Allah tanpa memperoleh sesuatu pun. Wahyu
terhenti. Rasulullah saw. bersedih karenanya. Berkali-kali ia pergi ke
puncak gunung karena merindukan wahyu Allah turun kepadanya seperti
peristiwa yang pertama. Dikatakan bahwa terhentinya wahyu tersebut
berlangsung selama hampir dua tahun. Pendapat yang lain mengatakan,
selama dua setengah tahun. Menurut tafsir Ibnu Abbas, selama empat puluh
hari. Menurut al-Zujjaj di dalam kitab Ma’ani al-Quran, selama lima belas hari. Menurut tafsir Muqatil, selama tiga hari. Pendapat yang terakhir ini dikuatkan oleh sebagian ulama.
Muqatil berkata, “Mungkin inilah yang
mirip dengan ihwal Rasulullah saw. di sisi Rabbnya, kemudian malaikat
Jibril menampakkan diri kepadanya di antara langit dan bumi di atas
kursi, lalu meneguhkannya dan menyampaikan kabar gembira bahwa ia adalah
utusan Allah. Setelah melihat malaikat tersebut, Rasulullah saw. merasa
takut dan pergi menemui Khadijah radhiyallahu ‘anha. Ia berkata, ‘Selimutilah aku, selimutilah aku.’ Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah” (al-Muddatstsir [74]: 1-4).
Jadi, peristiwa pertama di Gua Hira’
adalah peristiwa kenabian dan pewahyuan, kemudian Allah memerintahkannya
di dalam ayat ini agar bangkit memberi peringatan kepada kaumnya dan
mengajak mereka kepada Allah. Dengan demikian, sebagaimana pendapat
Urwah bin Zubair, Muhammad bin Syihab, dan Muhammad bin Ishaq, rentang
waktu sejak kenabian dan turunnya firman Allah “Fashda’ bima tumar wa a’ridh ‘anil Musyrikin‘ sampai kepada turunnya firman Allah, “Wa andzir ‘asyiratakal aqrabin dan qul inni ana al-nadzir al-mubin adalah tiga tahun.”
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa
karakteristik pertama bagi fase ini ialah bahwa rentang waktu periode
ini selama tiga tahun, kendati pun kami tidak menjadikan rentang waktu
ini sebagai patokan. Kami tidak berpendapat bahwa gerakan Islam sekarang
harus menempuh tahapan sirriyah selama tiga tahun. Menyangkut
masalah ini, tidak ada nash yang memerintahkan kita agar mengikuti
secara demikian. Tetapi, kami memahami bahwa berakhirnya tahapan ini
(sirriyah) telah terwujudkan, sebab kaum muslimin telah memiliki basis
kuat yang dapat melindungi mereka dari pemusnahan. Ini bila dinilai dari
sisi kualitasnya dan kaitannya dengan masyarakat Mekah pada waktu itu.
Dari aspek inilah kita harus meneladani. Rentang waktu bukan sesuatu
yang penting. Tetapi, yang penting adalah hasil operasional da’wah dan
kemampuannya untuk menghadapi masyarakat yang ada melalui para
pendukung, tokoh-tokoh, dan lembaga-lembaganya.
Pemahaman ini dikuatkan oleh ayat berikut.
“Maka sampaikahlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik” (al-Hijr [15]: 94).
Sebab, langsung setelah ayat ini kita dapati firman Allah :
“Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok (kamu)” (al-Hijr [15]: 95).
Jadi, penyampaian da’wah terang-terangan
dilakukan setelah adanya jaminan perlindungan Allah kepada Rasul-Nya
dari gangguan orang-orang yang memperolok-olokkan. Jika hal tersebut
diketahui oleh Rasulullah saw. melalui wahyu, pimpinan gerakan Islam
yang terpimpinlah yang bertanggung jawab menilai tahapan ini dan
kemungkinan-kemungkinan untuk beralih kepada tahapan berikutnya.
Pemahaman ini, tidak adanya kaitan
tahapan dengan masa tertentu, juga dikuatkan oleh adanya sebagian kaum
muslimin di luar Mekah yang tetap tinggal secara sirriyah selama masa
yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi mereka di tengah-tengah
kabilahnya serta kemampuan mereka untuk berda’wah dan membina kader.
- KARAKTERISTIK KEDUA : Pelaksanaan Da’wah atas Dasar Pilihan
Pada periode ini da’wah tidak dilakukan
secara terbuka di pertemuan-pertemuan dan majelis-majelis umum. Tetapi,
dilakukan berdasarkan pilihan pribadi-pribadi da’i tentang karakteristik
mad’u ‘orang yang dida’wahi’. Kita dapati bahwa fondasi pertama bagi
da’wah ini adalah Khadijah radhaiyallahu ‘anha, wanita yang pertama kali
beriman dan istri Rasulullah saw., Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu teman
akrab Rasulullah saw., Ali bin Abu Thalib, anak pamannya yang telah
dibina sejak kecil. Dan, Zaid bin Haritsah, mantan budak beliau.
Ketika Abu Bakar memulai berda’wah, ia memilih mad’u sendiri. Berkata Ibnu Ishaq,
“Kemudian Abu Bakar bin Abi Quhafah masuk Islam…. Abu Bakar adalah seorang lelaki yang akrab dengan kaumnya, dicintai dan disayangi. Ia seorang Quraisy yang paling mengerti dan tahu tentang nasab bangsa Quraisy serta masalah kebaikan atau keburukan yang ada pada suku ini. Ia dikenal sebagai seorang pedagang yang memiliki akhlak mulia. Ia sering didatangi oleh tokoh-tokoh kaumnya untuk dimintai pendapat mengenai banyak hal, karena ilmu, perdagangan, dan kebaikan pergaulannya. Kemudian ia mulai mengajak kepada Allah dan Islam. Orang yang diyakinkannya akan bisa merahasiakan dan mendengarkannya. Melalui da’wah Abu Bakar ini maka Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdul Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah masuk Islam. Kedelapan orang ini merupakan para pendahulu mereka yang masuk ke dalam Islam kemudian shalat dan membenarkan. “
Da’wah tersebut dilakukan dengan
mengandalkan tsiqah ‘kepercayaan’, kendati faktor-faktor yang membuat
da’wah Abu Bakar diterima itu banyak.
- KARAKTERISTIK KETIGA : Berdakwah Melalui Intelektualitas Da’i dan Status Sosialnya
Ini merupakan penjelasan lebih lanjut
terhadap sifat-sifat pribadi Abu Bakar yang disebutkan di atas mengingat
dia merupakan da’i yang paling berpengaruh pada waktu itu. Kita dapat
mengenal sifat-sifat pribadi ini melalui unsur-unsur berikut.
- Akhlak. Abu Bakar adalah seorang lelaki yang akrab dengan kaumnya, dicintai, dan disayangi.
- Pengetahuan. Abu Bakar adalah seorang Quraisy yang paling mengerti dan tahu tentang nasab suku bangsa Quraisy serta masalah kebaikan atau keburukan yang ada pada suku ini.
- Pekerjaan dan status sosial. Abu Bakar dikenal sebagai pedagang yang memiliki akhlak mulia. Sering didatangi oleh tokoh-tokoh kaumnya untuk dimintai pendapat mengenai banyak hal.
Akhlak yang baik dan dicintai masyarakat
merupakan “senjata ampuh” untuk menarik orang lain. Akhlak adalah kunci
pembuka katup hati, betapa pun kerasnya. Akhlak jualah yang akan men-
jauhkan seorang da’i dari reaksi pada saat timbul sifat negatif terhadap
da’wah.
Pengetahuan juga tidak kalah penting dari
akhlak. Yang dituntut dalam masalah ini bukan segala macam pengetahuan.
Tetapi pengetahuan mengenai masyarakat dan
kecenderungan-kecenderungannya. Pengetahuan yang menjelaskan tentang
karakteristik jiwa manusia. Pengetahuan inilah yang akan memberikan daya
gerak kepada da’i. Juga merupakan pintu masuk ke dalam hati mad’u.
“Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad [47]: 24).
Setiap hati memiliki “gembok” pengunci
tersendiri. Tugas seorang da’i ialah berusaha memiliki kunci dari
gembok-gembok tersebut dan mengetahui dari mana ia harus memasukinya,
sampai hati tersebut menyambutnya.
Status sosial seorang da’i menjadikan dia
“didengar” di tengah masyarakatnya sehingga akan meninggikan
derajatnya. Status ini akan membebaskannya dari “meminta-minta” dan
menginginkan apa yang dimiliki orang lain. Ia juga akan memberikan
prestise di tengah masyarakat yang nilai tertingginya adalah harta dan
popularitas. Rasulullah saw. telah mengarahkan kita kepada hal ini di
dalam salah satu sabdanya :
“Jauhilah dunia, niscaya Allah mencintaimu, dan jauhilah apa yang ada di tangan orang lain, niscaya kamu akan dicintai oleh orang-orang” (HR Ibnu Majah dengan sanad hasan).
Status sosial secara alami memiliki
hubungan yang erat dengan manusia yang menyebabkannya lebih berpengaruh
terhadap mereka. Sebab, hubungan tersebut tampak lebih wajar dan tidak
dipaksakan, sehingga seorang da’i tidak perlu mencari faktor lain untuk
berhubungan dengan mereka. Seorang guru atau pedagang misalnya, lebih
mampu untuk bergerak daripada seorang pegawai yang terkungkung di dalam
suatu struktur tertentu.
- KARAKTERISTIK KEEMPAT : Da’wah Secara Umum
Secara sepintas tampaknya ada
pertentangan antara karakteristik ini dengan karakteristik pertama
(da’wah secara rahasia). Sesungguh- nya tidak demikian. Menampakkan
da’wah kepada orang-orang tertentu bukan berarti membatasi da’wah pada
kelompok tertentu atau tingkatan tertentu di kalangan masyarakat. Da’wah
harus menjangkau semua lapisan yang ada di dalam masyarakat. Tetapi,
penjangkauan ini harus dilakukan melalui orang-orang tertentu terlebih
dahulu. Dapat kita lihat bahwa tahapan sirriyah bagi masyarakat muslim
ini telah berhasil merekrut semua lapisan masyarakat pada saat itu:
orang-orang merdeka, kaum budak, lelaki, wanita, pemuda, dan orang-orang
tua. Bahkan; telah bergabung ke dalam masyarakat ini orang-orang dari
segenap suku bangsa Quraisy dan lainnya, sehingga hampir tidak ada
keluarga di Mekah kecuali satu atau dua orang anggotanya yang ikut serta
membangun masyarakat ini.
- KARAKTERISTIK KELIMA : Peranan Wanita pada Periode Sirri’yah
Seperempat dari masyarakat Islam periode
ini terdiri dari kaum wanita. Sebagian besar dari para pemuda yang sudah
berkeluarga, istri-istri mereka juga masuk Islam bersamanya. Kaum
wanita ini hidup di periode sirriyah tanpa diketahui oleh seorang pun
keislaman mereka. Kita harus memberikan perhatian kepada peranan kaum
wanita dalam perjalanan da’wah ini sebagaimana mestinya. Baik sebagai
saudara, istri, maupun ibu yang mendampingi kaum lelaki. Bahkan,
sebagian riwayat menyebutkan bahwa Asma’ ra. adalah seorang prajurit
periode ini. Ini berarti bahwa dia dalam usianya yang sangat muda.
- KARAKTERISTIK KEENAM : S h a l a t
Menurut riwayat yang paling kuat, tidak
ada satu pun periode da’wah kaum muslimin yang sunyi dari pelaksanaan
shalat. Berkata Ibnu Ishaq,
“Sebagian ahli ilmu menceritakan kepadaku
bahwa sewaktu shalat diwajibkan atas Rasulullah saw.. Jibril datang
kepadanya sedang beliau berada di atas bukit Mekah. Kemudian
mengisyaratkan kepadanya ke arah lembah. Maka terbelahlah sebuah mata
air darinya. Kemudian Jibril mengajarkan cara berwudhu kepada Rasulullah
saw. Lalu Rasulullah saw. ikut berwudhu sebagaimana Jibril. Kemudian
Jibril berdiri dan shalat mengimami Rasulullah saw. dan Rasulullah saw.
pun mengikuti shalatnya. Kemudian Jibril pergi meninggalkannya. Lalu
Rasulullah datang kepada Khadijah memperagakan cara wudhu untuk shalat
sebagaimana diperlihatkan oleh Jibril kepadanya. Maka, Khadijah berwudhu
sebagaimana Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. mengimaminya
sebagaimana Jibril telah mengimaminya. “
- KARAKTERISTIK KETUJUH : Pengetahuan Orang Quraisy tentang Da’wah
Quraisy belum memberikan perhatian khusus
terhadap da’wah ini, karena fenomena kehanifan sudah sejak lama
tersebar di masyarakat Mekkah. Seperti yang tercermin pada Zaid bin Amer
bin Naufal, Waraqah bin Naufal, dan Umaiyah bin Abu Shalt.
Mekah tidak begitu memperdulikan
peristiwa-peristiwa dan orang-orang seperti mereka ini, selama mereka
tidak mengganggu ideologi dan berhala-berhala yang disembah. Rasulullah
saw. sendiri sebelum kenabian melakukan “penyucian diri” di Gua Hira’.
Sekali- pun demikian, Quraisy tidak keberatan terhadapnya. Quraisy
mengira bahwa Islam tidak berbeda dengan orang-orang hanif yang
menghindarkan diri dari menyembah berhala. Bahkan boleh dikatakan, pada
periode sirriyah ini Quraisy lebih banyak memperhatikan orang- orang
hanif daripada kaum muslimin. Hal ini disebabkan orang-orang hanif itu
pernah mengatakan keraguan mereka terhadap berhala-berhala kaum Quraisy
dan sesembahan orang-orang Arab, sementara kaum muslimin belum pernah
menyatakan sikap terhadap mereka.
- KARAKTERISTIK KEDELAPAN : Hidup Berdampingan antara Kaum Muslimin dan Orang Lain
Pada periode ini kita tidak pernah
mendengar adanya perbenturan antara masyarakat Islam yang sedang tumbuh
dengan masyarakat jahiliyah. Karena fikrah belum diumumkan selain kepada
orang yang diharapkan mau bergabung dengan masyarakat Islam yang ada.
Da’wah terbuka bukan merupakan sasaran periode ini. Sehingga, kaum
muslimin belum boleh mencampuri urusan orang lain dengan mengkritik,
berkonfrontasi, atau menantang secara terang-terangan. Prinsip yang
harus dianut pada periode ini ialah tidak boleh menampakkan
ketidaksetujuan, kecuali bila dalam keadaan terpaksa sekali. Tanzhim dan
fikrah masih harus dirahasiakan sepenuhnya.
- KARAKTERISTIK KESEMBILAN : Memfokuskan pada Pembinaan Aqidah
Ideologi kaum kafir dan thaghut telah
mendominasi kehidupan manusia, karena itu perbaikan dan pembinaan aqidah
yang benar harus dilakukan secara tenang. Hanya aqidah yang benar yang
mampu memancarkan ibadah dan perilaku yang benar. Pada saat yang sama,
aqidahlah yang akan memberikan keteguhan jiwa di atas kebenaran dan
pengorbanan di jalannya. Segala bentuk keraguan, ketidakpastian, nifaq,
dan penyimpangan dari jalan yang benar, terjadi karena lemahnya aqidah
di dalam hati setiap muslim.
Karena sesuatu hal, Islam memilih kata
iman untuk menunjukkan aqidah. Sebab iman menyentuh akal dan hati
sekaligus, serta mema- dukan antara pikir dan aspek kejiwaan. Aqidah
bukan masalah kepuasan intelektual yang dingin, juga bukan masalah
dorongan sentimental yang tidak berlandaskan kepuasan intelektual.
Tetapi, merupakan perpaduan yang utuh antara dua aspek tersebut,
sehingga sulit untuk membedakan antara keduanya.
- KARAKTERISTIK KESEPULUH : Berda’wah secara Terang-terangan Setelah Terbentuk Kader-Kader Inti yang Kuat
Bukti dari bentuk da’wah ini ialah tidak
adanya seorang pun di antara para sahabat yang murtad pada waktu terjadi
tribulasi dan dimulai konfrontasi. Bahkan, mereka yang telah hidup di
periode awal da’wah ini di kemudian hari menjadi generasi Islam terbaik
di segi kualitas keimanan, perilaku, jihad, dan pengorbanan. Bahkan,
kalau kita perhatikan tingkatan teratas di dalam umat Islam, yaitu
tingkatan sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga adalah dari kelompok
mereka, kecuali Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Kelompok inilah yang membentuk generasi pemimpin (jiil al-qiyadah)
bagi masyarakat yang terbina. Khalifah yang terpilih dan telah
disetujui oleh Rasulullah saw. pun dari kelompok ini. Inilah kader-kader
inti (nuwat) yang di kemudian hari memikul beban da’wah Islam
di muka bumi. Merekalah yang telah berhasil memikul tanggung jawab
melakukan konfrontasi terbesar melawan musuh-musuh Islam.
bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar