Minggu, 17 Februari 2013

Membaca Manhaj Haraki : Mendirikan Negara "serbasejarah"

Semenjak da’wah terang-terangan, tiga tahun setelah kenabian, Rasulullah saw. senantiasa mendatangi orang-orang di berbagai acara musiman dan pasar Arab guna mengajak mereka beriman kepada Allah, “Ucapkanlah laa ilaaha illallah, niscaya kalian beroleh kemenangan.” Selanjutnya, Rasulullah saw. mengajak mereka untuk meninggalkan berhala-berhala dan sesembahan selain Allah. Sedangkan, dalam musim (haji) ini—yakni pada tahun kesepuluh dan kesebelas kenabian—maka telah terjadi perubahan dan perkembangan daripada tahun- tahun sebelumnya.
Ibnu Ishaq berkata, “Ketika Allah hendak memenangkan agama-Nya, mendukung nabi-Nya, dan menunaikan janji-Nya kepadanya, Rasulullah saw. keluar di musim (haji) menemui beberapa orang Anshar dan mendatangi kabilah-kabilah Arab sebagaimana biasa dilakukan di setiap musim. Ketika berada di Aqabah, beliau bertemu dengan beberapa orang dari Khazraj yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan.
Ketika bertemu dengan mereka, Rasulullah saw. bertanya, “Siapakah kalian?” Mereka menjawab, “Orang-orang dari Khazraj.” Nabi saw. bertanya lagi, “Apakah kalian termasuk yang bersahabat dengan orang-orang Yahudi?” Mereka menjawab, “Ya, benar.” “Apakah kalian bersedia duduk bersama kami untuk bercakap-cakap?” tanya Nabi saw. “Baik,” jawab mereka. Mereka lalu duduk bersama beliau. Beliau mengajak mereka supaya beriman kepada Allah, menawarkan agama Islam kepada mereka, kemudian membacakan beberapa ayat suci al-Qur’an.
Sewaktu Rasulullah saw. mengajak orang-orang tersebut berbicara dan menyeru mereka supaya beriman kepada Allah, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Demi Allah, kalian tahu bahwa dia adalah nabi yang dijanjikan oleh orang-orang Yahudi kepada kalian. Karena itu, janganlah sampai mereka mendahului kalian!” Kemudian mereka menyambut baik ajakan Nabi saw. yang ditawarkan beliau. Mereka lalu berkata, “Kami tinggalkan kabilah kami yang selalu bermusuhan satu sama lain. Tidak ada kabilah yang saling bermusuhan begitu hebat seperti mereka, masing-masing berusaha menghancurkan lawannya. Mudah-mudahan dengan Anda, Allah akan mempersatukan mereka lagi. Kami akan mendatangi mereka dan mengajak mereka supaya taat kepada Anda. Kepada mereka akan kami tawarkan juga agama yang telah kami terima dari Anda. Apabila Allah mempersatukan mereka di bawah pimpinan Anda, maka tidak ada orang lain yang lebih mulia daripada Anda!” Mereka kemudian pulang ke negeri mereka dalam keadaan telah beriman kepada Allah dan memeluk agama Islam. Mereka ini berjumlah enam orang dari Khazraj.
Sesampainya di Yastrib, mereka lalu menceritakan kepada penduduknya tentang Rasulullah saw. dan mengajak mereka untuk memeluk Islam. Begitu cepat hasil ajakan mereka sehingga tak ada rumah di Yastrib yang tidak membicarakan Rasulullah saw. Tampaknya pertemuan Nabi saw. dengan beberapa orang Khazraj ini terjadi secara “sambil lewat” saja. Ini terbukti dari ajakan Nabi SAW kepada mereka untuk duduk bercakap-cakap. Pertemuan ini merupakan takdir Allah yang dikaruniakan-Nya kepadanya untuk kepentingan da’wah-Nya.
Ibnu Ishaq berkata, “Pada tahun berikutnya, datanglah orang dari Anshar menemui Rasulullah di Aqabah, Aqabah pertama. Mereka kemudian membai’at Rasulullah seperti bai’at kaum wanita, bai’at sebelum perang. Di antara mereka terdapat As’ad bin Zurarah, Rafi’ bin Malik, Ubadah bin Shamit, dan Abui Haitsam bin Tihan.”
Dari Ubadah bin Shamit, ia berkata, “Aku termasuk salah seorang yang hadir dalam bai’at pertama. Kami berjumlah dua belas orang lelaki. Kemudian kami mengucapkan bai’at kepada Rasulullah seperti bai’at kaum wanita, sebelum diwajibkan perang, ‘Bahwasanya kami tidak akan mempersekutukan Allah dengan apa pun, kami tidak akan mencuri, kami tidak akan berzina, kami tidak akan membunuh anak- anak kami, kami tidak akan berdusta untuk menutup-nutupi apa yang ada di depan atau di belakang kami, dan tidak akan membantah perintah beliau dalam hal kebajikan….”
Pada tahun baru, setelah pertemuan pertama, dua belas orang lelaki datang ke Mekah bersama-sama dengan orang-orang yang menghadiri acara musiman. Sesuatu yang baru dalam urusan ini ialah bahwa mereka mewakili dua komunitas besar, Aus dan Khazraj. Dengan demikian, tidak akan terjadi perang kabilah di mana Khazraj mewakili pihak Islam dan Aus mewakili pihak jahiliah. Bahkan, kelompok inti dan pelopor ini telah berhasil memadamkan api peperangan yang baru saja berkobar, kemudian menghimpun mereka dalam satu jama’ah.
Ba’iat Aqobah 2 : Persiapan Berdirinya Negara
Nabi SAWBerkata Ka’ab bin Malik, “Kami berangkat bersama rombongan haji dari kaum kami yang musyrik, waktu itu kami sudah shalat dan memahami (Islam). Di antara rombongan yang berangkat bersama kami terdapat Barra’ bin Ma’rur, pemimpin dan tokoh kami…. Kami berjanji kepada Rasulullah untuk bertemu di Aqabah pada pertengahan hari Tasyriq…. Pada malam itu, kami tidur bersama rombongan dalam perjalanan. Setelah lewat tengah malam, kami berangkat menuju tempat yang telah kami tetapkan bersama Rasulullah. Kami jalan menyelusup secara diam-diam seperti burung qatha (sejenis burung yang berjalan secara gesit dan ringan—Penj.) hingga kami tiba di sebuah lembah dekat Aqabah. Kami semua terdiri dari 73 orang pria dan 2 orang wanita, Nashihah binti Ka’ab dan Asma’ binti Amer bin Adi.
Setelah beberapa lama kami berkumpul di lembah Aqabah menunggu kedatangan Rasulullah, datanglah beliau bersama Abbas bin Abdul Muthallib yang ketika itu belum memeluk Islam, tetapi ia ingin turut hadir untuk membuktikan sendiri apa yang akan dihadapi kemenakannya (yakni Rasulullah).
Setelah duduk, Abbas sebagai pembicara pertama berkata ;
“Hai orang-orang Khazraj (orang-orang Arab dahulu menamakan orang-orang Anshar dengan Khazraj, baik itu dari kaum Aus maupun dari Khazraj), sebagaimana kalian telah mengetahui, Muhammad adalah seorang dari kerabat Iwrni. Kami melindunginya dari gangguan orang-orang yang sependapat dengan kami mengenai dia. la mendapat perlindungan dari kerabatnya sendiri dan di negerinya sendiri. Akan tetapi, ia tidak menginginkan selain hendak berpihak dan bergabung dengan kalian. Jika sungguh-sungguh akan setia kepadanya dan kepada agamanya; jika kalian sanggup melindunginya dari gangguan orang-orang yang memusuhinya; tanggung jawab atas keselamatannya kami serahkan kepada kalian! Akan tetapi, jika kalian tidak sanggup melindunginya dan hendak kalian serahkan kepada musuh-musuhnya setelah ia bergabung dengan kalian, maka mulai sekarang baiklah ia kalian tinggalkan saja, karena ia sudah berada di bawah perlindungan kerabatnya di negerinya sendiri. …
Ketika itu kami jawab,“‘Kami telah mendengar apa yang Anda katakan. Sekarang kami minta supaya Rasulullah berbicara sendiri kepada kami. Ya Rasulullah, katakanlah apa yang engkau inginkan dan yang Allah inginkan pula dari kami..  Wahai Rasul Allah, apakah yang perlu kami nyatakan kepada Anda dalam pembai’atan ini?’
Nabi saw. menjawab ;
 1. Berjanji taat dan setia baik dalam keadaan sibuk maupun senggang. 2. Berinfaq, baik dalam keadaan longgar maupun sempit. 3. Menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. 4. Teguh membela kebenaran Allah tanpa rasa takut dicela orang. 5. Tetap membantuku dan akan tetap membelaku bila aku berada di tengah-tengah kalian, sebagaimana kalian membela diri kalian sendiri dan anak istri kalian. Dengan demikian, kalian akan memperoleh surga.”
Al-Barra’ bin Ma’rur kemudian memegang tangan Rasulullah seraya berkata, ‘Demi Allah, yang mengutus Anda membawa kebenaran, kami berjanji akan melindungi Anda sebagaimana kami melindungi istri-istri kami. Wahai Rasul Allah, baiatlah kami dan demi Allah, kami semua mempunyai darah prajurit yang kami warisi dari nenek moyang kami.
Di saat Barra’ bin Ma’rur masih berbicara dengan Rasulullah, Abu Haitsam bin Taihan menukas dan berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, kami terikat oleh suatu perjanjian dengan orang- orang Yahudi dan perjanjian itu akan kami putuskan! Kalau semuanya itu telah kami lakukan, kemudian Allah memenangkan Anda, apakah Anda akan kembali lagi kepada kaum Anda dan meninggalkan kami?
Mendengar pertanyaan itu Rasulullah tersenyum, kemudian berkata, ‘Darah kalian darahku; negeri kalian negeriku; aku dari kalian dan kalian dari aku. Aku akan berperang melawan siapa saja yang memerangi kalian dan aku akan berdamai dengan siapa saja yang berdamai dengan kalian….
Kelima butir bai’at di atas sudah sangat jelas dan tegas, tidak mengandung kekurangsiapan ataupun keraguan. Sebab, baiat untuk Islam (dalam pengertian yang sektoral) tidak sama dengan bai’at untuk menegakkan negara Islam. Orang-orang yang siap hanya sebagai penambah jumlah kaum muslimin tidak sama dengan orang-orang yang siap untuk menjadi tulang punggung, mengorbankan nyawa dan harta mereka demi tegaknya negara Islam. Itulah sebabnya bai’at yang tidak menyebutkan perang dan jihad dalam sejarah, di antaranya bai’at Aqabah pertama, disebut sebagai Bai’at an-Nisa. Sedangkan, bai’at (Aqabah kedua) ini disebut Baiatul Harbi ‘bai’at perang’.
Barra’ bin Ma’rur adalah perunding resmi dan kepala utusan perunding. Ia masuk Islam melalui aktivitas para da’i di perja- lanan. Dalam pembai’atan ini, ia menawarkan segenap potensi kaumnya kepada Rasulullah: kaumnya adalah ahli perang dan senjata. Ini berarti bagi gerakan Islam. Pertama, ia harus mengetahui potensi dan kekuatan perangnya. Kedua, ia harus mengetahui bagaimana mengarahkan potensi-potensi tersebut secara tepat dan cermat. Setiap prajurit yang memiliki keahlian perang harus pula menempati bidangnya. Bahkan, gerakan Islam harus menggali potensi-potensi Islam dan pendukung dari setiap sumur agar menunaikan peran yang diharuskan. Apabila orang-orang yang memiliki potensi ini telah mereguk pengalaman operasional dan peperangan riil maka kemampuan mereka dalam bidang perencanaan militer dan peperangan akan semakin meningkat.
Memperkokoh dan Mempertegas Bai’at
Al-’Allamah al-Mubarakfuri di dalam kitabnya ar-Rahiqul Makhtum berkata, “Setelah selesai pembicaraan sekitar syarat-syarat bai’at dan mereka pun telah sepakat untuk memulai peng-aqad- annya, berdirilah dua orang dari generasi pertama yang masuk Islam pada tahun kesebelas dan kedua belas kenabian. Keduanya bangkit secara bergantian menegaskan besarnya tanggung jawab yang harus dipikul, agar mereka tidak menyatakan bai’at kecuali setelah me-mahami segala konsekuensinya secara jelas di samping kedua orang tersebut ingin mengetahui sejauh manakah kesiapan mereka untuk berkorban.
Berkata Ibnu Ishaq, “Ketika mereka telah berkumpul untuk menyatakan bai’at, al-Abbas bin Ubadah bin Nadhalah berkata, “Apakah kalian menyadari untuk apa kalian berbaiat kepada orang ini (Nabi saw.)?” Mereka menjawab, “Ya.” Al-Abbas berkata, “Sesungguhnya kalian berbaiat kepadanya untuk berperang melawan semua manusia (yang berkulit merah ataupun yang berkulit hitam). Jika kalian tidak siap mengorbankan harta dan nyawa, dari sekarang sajalah, dan ini merupakan kehinaan dunia dan akhirat. Tetapi, jika kalian setia menepati baiat dengan kesiapan sepenuhnya untuk mengorbankan harta dan nyawa maka ambillah baiatnya dan ia merupakan kebaikan dunia dan akhirat.” Mereka menjawab, “Kami mengambil baiat dan siap mengorbankan harta dan nyawa. Jika kami setia melakukan hal tersebut, lalu apa balasan kami wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Surga.” Mereka menyahut, “Ulurkan tanganmu!” Lalu Nabi saw., mengulurkan tangannya dan mereka pun membai’atnya. Selanjutnya mereka berkata, “Beruntunglah jual beli ini. Kami tidak mau ketinggalan dan tidak akan membatalkannya.”
Jabir ra. berkata, “Kemudian kami berdiri satu persatu berbaiat kepadanya, la memberikan kepada kami surga atas kesetiaan kami kepada baiat tersebut.” Adapun bai’at kedua wanita yang ikut hadir dalam peristiwa ini adalah secara lisan saja. Rasulullah saw. tidak pernah berjabat tangan sama sekali dengan wanita asing (bukan mahram-nya).
Mereka semua menerima bai’at, tak seorang pun yang tertinggal Bahkan, kedua wanita itu berbai’at dengan bai’at perang. Keduanya setia sampai akhir hayatnya kepada bai’at ini. Ummu Imarah terkena tusukan sebanyak 12 tusukan pada Perang Uhud. Sedangkan, anaknya dicincang oleh Musailamah si pendusta, tetapi ia tidak pernah lemah semangat atau menyerah. Pada bai’at ini, wanita menjadi rijal (pejuang tangguh) yang berperang dan berbai’at untuk mengorbankan nyawa dan berperang melawan semua manusia yang menentang Islam.

Kelahiran Negara Islam

Ibnu Ishaq berkata, “Sesungguhnya Allah mengizinkan Nabi saw. untuk melakukan peperangan, sementara itu kaum Anshar pun telah berbai’at kepadanya untuk memeluk Islam dan membelanya. Maka Rasulullah saw. memerintahkan para sahabatnya yang ada di Mekah agar berhijrah ke Yastrib (Madinah) dan bergabung bersama saudara-saudara mereka dari kaum Anshar. Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah menjadikan untuk kalian saudara-saudari seaqidah dan negeri yang aman bagi kalian”. Kemudian mereka keluar secara bertahap, sedangkan Nabi tetap tinggal di Mekah menunggu izin dari Allah untuk keluar dari Mekah dan hijrah ke Yastrib (Madinah). Demikianlah secara bergelombang kaum muslimin melakukan hijrah ke Yastrib tanpa diketahui oleh kaum musyrikin kecuali setelah mereka sampai di luar Mekah…. Dan sampailah waktu dimana Rosululloh meninggalkan Mekah bersama Abu Bakar menuju Yastrib.
Tola’al badru alaika/Telah terbit kepada kami bulan purnama (Nabi saw.). Mintsani’atil wada’a/Dari arah Tsaniatil Wada’. Wajaba Syukru ‘alaika/Kami wajib bersyukur, Mada’a lillahi da’a/atas ajakan seorang (nabi) pada jalan Allah. Ayyuhal Mab’usu fi’na/Wahai rasul yang diutus kepada kami. Ji’ta bil’amri La tho’i/ Engkau telah datang membawa urusan yang ditaati.”
Akhirnya, berdirilah negara Islam yang pertama di permukaan bumi dengan kawalan para malaikat langit, setelah perjuangan jihad yang berat selama tiga belas tahun. Langkah pertama dalam periode ini adalah membangun masjid yang akan menjadi markas bertolaknya negara, pusat mengendalikan pemerintahan, tempat komando militer, dan pusat pembinaan yang pertama.
Bila kita perhatikan kembali haluan umum periode ketiga dari masa Makkiyyah ini, yang dimulai dari perjalanan berdarah ke Tha’if kemudian pengorbanan kaum Muhajirin, dan sumpah setia kaum Anshar untuk membelanya (kami telah berbai’at kepada Muhammad untuk jihad selama hayat di kandung jasad), niscaya kita mengetahui pentingnya periode ini dan betapa kecerdasan kenabian dalam menegakkan negara, tanpa pertumpahan darah sedikit pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar