Hijrah Pertama Ke Habasyah
Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dalam Sirah-nya bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada kaum muslimin,“Sebaiknya kalian pergi ke Habasyah karena di sana ada seorang raja yang adil sekali. Di dalam kekuasaannya tidak seorang pun boleh dianiaya, di sana adalah bumi kejujuran. Sampai Allah memberikan jalan keluar kepada kalian.”
Sejak
itu, kaum muslimin dan para sahabat Rasulullah saw. berangkat ke
Habasyah karena takut fitnah dan menuju ridha Allah, dengan membawa
agama mereka. Inilah hijrah yang pertama dalam Islam. “… Mereka
berangkat pada bulan Rajab tahun kelima dari kenabian sampai di Habasyah
pada bulan Sya’ban dan Ramadhan. Orang-orang Quraisy berangkat mengejar
mereka sampai ke pantai, tapi tidak berhasil menangkap seorang pun di
antara mereka. Kemudian para Muhajirin ini kembali lagi ke Mekah pada
bulan Syawwal karena mendengar berita bahwa orang-orang Quraisy telah
mendukung Rasulullah saw.”
Strategi Hjrah merupakan strategi jitu dari Rasulullah saw. ketika beliau mencari basis yang kokoh (qa’idah shalbah)
dan tempat lain yang aman bagi da’wah di selain kota Mekah. Agar
Quraisy, betapa pun kekuatan yang dimilikinya, tidak dapat menumpas
habis eksistensi Islam di muka bumi. Hal ini seyogianya diperhatikan
gerakan Islam dalam menyusun strategi dan perencanaannya, agar seluruh
potensi personil dan materiilnya tidak ditempatkan di satu tempat
sehingga memudahkan musuh untuk menghancurkannya secara total. Tetapi,
ia harus memperbanyak tempat-tempat tajammu ‘konsentrasi’ dan keberada-
annya, sehingga seandainya kehilangan satu tempat tertentu ia dapat
berpindah ke tempat lain.
Tidaklah diragukan bahwa keberangkatan
para pemuda muslim ke negeri baru merupakan suatu kesulitan dan
pengorbanan besar. Ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh para pemuda
yang telah memiliki keimanan kuat yang mampu mengalahkan segala
penderitaannya. Penderitaan sebagai orang asing dan berpisah dengan
keluarga dan tanah air. Ia tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang yang
berkeyakinan dan cintanya kepada aqidah lebih besar dari cintanya
kepada negeri dan keluarganya. Ikatan aqidah lebih mendalam dan lebih
kuat pengaruhnya di dalam jiwanya daripada ikatan lainnya.
“Katakanlah, Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum kerabat, harta kekayaan yang kauusahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) jihad dijalan- nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik” (at-Taubah [9]: 24).
Hijrah ke Habasyah memiliki
sasaran lain yaitu mencari tempat yang aman bagi da’wah dan basis baru
sebagai titik tolak pergerakan. Inilah yang disebutkan oleh penulis
tafsir Fi Zhilalil Quran—Sayyid Quthb—dengan perkataannya, “Kemudian
Rasulullah saw. mencari basis lain selain Mekah. Suatu basis yang dapat
melindungi aqidah, menjamin kebebasannya dan mencairkan kebekuan yang
telah terjadi di Mekah. Di tempat yang baru ini diharapkan adanya
kebebasan da’wah dan perlindungan para pemeluknya dari penindasan dan
fitnah…. Menurut saya inilah sebab terpenting dari hijrah.
Memanfaatkan Undang-Undang Masyarakat Musyrik
Masyarakat jahiliah sangat menghargai
undang-undang perlindungan pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Jika
seorang yang lemah masuk ke dalam jaminan keamanan (jiwa) orang yang
kuat maka orang tersebut dapat menikmati perlindungan kebebasan bergerak
dan berpikir, sehingga pihak musuh tidak akan dapat mengganggunya sama
sekali. Jika ada pihak yang mengganggunya maka ini berarti peperangan
antara kedua belah pihak. Oleh sebab itu, orang yang mengumumkan atau
memberi perlindungan haruslah orang yang mulia dan terpandang di
kaumnya, mampu memberikan perlindungan dan memperhitungkan segala
kemungkinan dadakan yang akan terjadi. Perlindungan pertama dalam
masyarakat Mekah ialah perlindungan Abu Thalib kepada Muhammad saw..
Berkata Ibnu Ishaq, “Paman Rasulullah
saw., Abu Thalib, melindungi dan membelanya sehingga beliau terus
melanjutkan da’wahnya tanpa mempedulikan gangguan apa pun. Ketika
Quraisy melihat bahwa Rasulullah saw. terus mengecam tuhan-tuhan mereka,
sementara Abu Thalib telah melindunginya sehingga menolak
menyerahkannya kepada mereka, berangkatlah beberapa orang menemui Abu
Thalib. Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, sesungguhnya anak saudaramu
telah mengecam tuhan-tuhan dan agama kita, mencela mimpi-mimpi kita, dan
menyatakan nenek moyang kita sesat. Kami harap engkau dapat mencegahnya
atau biarkan kami bertindak terhadapnya.” Abu Thalib menjawab
pernyataan mereka dengan lembut dan baik sampai mereka kembali.
Sementara itu, Rasulullah saw. terus melakukan da’wahnya sehingga beliau
senantiasa menjadi bahan pembicaraan di kalangan Quraisy. Hal ini
membuat mereka semakin benci pada beliau dan berusaha menghentikan
da’wahnya.
Berkata Ibnu Ishaq,“Kemudian Quraisy saling mengecam sesama mereka atas masuknya orang-orang dari masing-masing kabilah ke dalam agama Islam. Setiap kabilah menangkapi anak-anak kabilah-nya yang masuk Islam kemudian menyiksa mereka dan memaksa mereka keluar dari Islam. Dalam pada itu, Allah telah melindungi Rasul-Nya dari tindakan mereka dengan paman- nya, Abu Thalib. Ketika Abu Thalib melihat apa yang dilakukan oleh Quraisy terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthallib, ia bangkit mengajak mereka untuk melindungi Rasulullah saw. dan membelanya. Semua putra Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthallib menyambut seruannya kecuali Abu Lahab dan anaknya.“
Blokade Ekonomi dan Pemboikotan Umum untuk Menghancurkan Da’wah dan Para Sekutunya
Terbunuhnya Rasulullah saw. adalah
sasaran utama yang dituju olen kaum musyrikin. Adakah para sekutu
melakukan petualangan dengan memecah belah barisan Mekah semata-mata
demi membela Nabi saw.? Sejauh manakah mereka berjalan dalam garis ini?
Blokade dan pemboikotan inilah yang akan membuktikannya.
Sebelum pemboikotan semua urusan berjalan
dengan mudah dan lancar. Perlindungan yang diberikan kepada Nabi saw.
hanyalah merupakan fanatisme (hamiyah) jahiliah dari kedua
kabilah tersebut yang tidak ingin menyerahkan salah seorang putranya
kepada kabilah lain. Tetapi, blokade dan pemboikotan ini dimaksudkan
untuk memukul hancur kedua kabilah tersebut dan mengucilkannya dari
Mekah. Di hadapan mereka terpampang garis permusuhan.
Mekah secara keseluruhan telah berada
dalam bahaya sehingga mengakibatkan perpecahan Mekah menjadi dua front
besar. Pertama, kaum muslimin beserta Bani Hasyim dan Bani Muthallib,
baik yang muslim maupun yang musyrik. Kedua, kaum musyrikin dari
kabilah-kabilah Quraisy yang lainnya.
Tidaklah diragukan lagi bahwa kebersihan
kepribadian Islam dan ketinggian kedudukannya di kalangan kedua kabilah
inilah ayang mendorong sikap tersebut. Kalau saja Rasulullah saw. tidak
punya wibawa dan kehormatan di kalangan mereka, niscaya kedua kabilah
besar—Bani Hasyim dan Bani Muthallib—tidak akan mau berpetualang
melakukan peperangan demi membela Muhammad saw.
Peran Wanita dalam Jihad, Da’wah, Dan Sirriyah Periode Ini
Wanita Muslimah tidak boleh tidak harus
mengambil perannya dalam pertarungan, mendampingi kaum lelaki. Sebagian
besar mereka yang berhijrah ke Habasyah adalah bersama istri-istri
mereka. Bahkan, dengan bangga sejarah Islam menyebutkan bahwa makhluk
Allah yang pertama kali menyambut Islam adalah wanita. Demikian pula
orang yang mati syahid pertama kali dalam Islam. Dengan demikian, wanita
muslimah tidak pernah jauh dari medan pertempuran. Bahkan, dengan penuh
kesabaran dan ketegaran, ia menghadapi berbagai derita penyiksaan di
jalan Allah, termasuk para wanita budak belian- nya. Nahdiah menghadapi
penyiksaan dengan penuh kesabaran sampai buta. Sumayyah mengalami
penyiksaan berat hingga mati syahid. Fathimah binti al-Khaththab tampil
membela suaminya kemudian dia ditampar oleh Umar sampai wajahnya
berlumuran darah. Ini adalah salah satu sisi peranannya.
Kalau kita sebutkan semua wanita dunia,
pasti Khadijah akan menempati urutan pertama. Ialah yang “mengasuh”
da’wah dan da’inya semenjak masa-masa pertama. Ia telah menyerahkan
seluruh hartanya untuk dimanfaatkan suaminya. Ia bersabar menghadapi
pemboikotan dan kemiskinan, padahal ia termasuk orang terkaya di Mekah.
Di samping semua peran tersebut, ia selalu bersikap menghibur,
memberikan motivasi, dan meneguhkan Rasulullah saw. Karena itu, ia
selalu dikenang oleh Rasulullah saw., sampai ketika mendengar suara
saudaranya Halah, atau suara teman-temannya yang sering mengunjunginya
di waktu ia masih hidup, Rasulullah saw. merasa senang. Tepatlah jika
Rasulullah saw. dan kaum muslimin menyebut tahun kematian Khadijah dan
kematian Abu Thalib sebagai tahun duka cita.
Gerakan Islam di masa sekarang sungguh
sangat bangga dengan wanita-wanita yang telah syahid dan melakukan jihad
dengan harta dan senjata melawan musuh-musuh Allah. Gerakan Islam
sangat bangga dengan wanita-wanita yang telah menikah dengan para
mujahidin untuk berperan serta dalam jihad fi sabilillah atau
menyampaikan berita dan informasi di kalangan mujahidin atau membongkar
sarang-sarang musuh. Gerakan Islam juga berbangga dengan wanita-wanita
yang telah melakukan hijrah di jalan Allah, karena mereka diburu oleh
para thaghut yang ingin melenyapkan mereka. Wanita-wanita muslimah yang
tidak pernah menyerah dalam mempertahankan agama mereka sekalipun harus
menghadapi berbagai ancaman atau bujukan. Gerakan Islam juga berbangga
dengan wanita-wanita muslimah yang dipenjarakan di penjara-penjara para thaghut,
karena mempertahankan agama mereka. Bersama ini kami menghimbau para
akhwat mu’minah untuk berperan serta dalam jihad ini dan bergabung di
bawah panji gerakan Islam guna melakukan peran utama yang tidak dapat
dilakukan kecuali oleh wanita.
Tidak Melepaskan Satu Bagian Ajaran Sekalipun Demi Perlindungan
Setelah wafatnya Abu Thalib, bangkitlah
rasa fanatisme di kepala Abu Lahab, ketika melihat gencarnya penyiksaan
yang dilancarkan Quraisy terhadap anak saudaranya, Muhammad. Kemudian
dia datang kepada Nabi saw. seraya berkata, “Pergilah wahai anak saudaraku dan teruskanlah apa yang pernah kamu lakukan semasa Abu Thalib masih hidup. Lakukanlah!”
Sikap ini tentunya sangat mengguncangkan
Quraisy yang telah merencanakan penghancuran perlindungan tersebut.
Tetapi, kemudian Quraisy berhasil ketika mendesak Abu Lahab agar
menanyakan Rasulullah saw. tentang Abdul Muthallib. Rasulullah saw.
dihadapkan kepada dua persoalan. Perlindungan dapat berjalan terus
dengan syarat mau “berdamai” dan “menawar” satu kalimat dari ajaran
Islam, atau semua perlindungan dibatalkan jika Nabi saw. menyebut hukum
Allah tentang Abu Thalib. Karena perlindungan tidak boleh didapatkan
dengan cara mengorbankan aqidah maka dengan tegas Nabi saw. menjawab
pamannya, Abu Lahab, “Dia (Abu Thalib) di neraka.” Serta merta Abu Lahab berkata, “Aku masih tetap menjadi musuhmu untuk selama-lamanya.” Kemudian ia kembali bergabung kepada front Quraisy.
Kalau kita bertanya mengapa Rasulullah
saw. bersikeras menjelaskan hukum Allah tentang Abdul Muthallib, padahal
penjelasan itu akan mengakibatkan hilangnya perlindungan kepadanya dan
kepada kaum muslimin? Jawabannya ialah jika hukum ini tidak dijelaskan,
berarti Abdul Muthallib benar, sedangkan Quraisy secara keseluruhan
mengikuti millah Abdul Muthallib. Dengan demikian, tidak perlu lagi
adanya pemisahan antara kedua kelompok dan mungkin diadakan “pertemuan”
antara kekafiran dan Islam di tengah jalan. Berdasarkan petunjuk inilah hendaknya gerakan Islam bersikap terhadap para musuhnya.
“Dan sesungguhnya, mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu, tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat setia. Dan, kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami” (al-Isra’ [17]: 73-75).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar